Posts

Showing posts from June, 2016

Rumah Kosong

“Rumah kosong, sudah lama ingin dihuni, adalah teman bicara, siapa saja atau apa.” -           Rindu, Banda Neira             Dulu ketika rumah masih ramai, sukanya pada ngehujat siapa saja yang lewat. Gak teman sekamar, gak pengurus rumah, gak satpam, semuanya bisa kena. Alasannya banyak, terlebih, tiga tahun di sana isinya terasa penuh beban. Dari makan pagi yang dikasih waktu pas hari libur, ngurusin acara, kumpul pagi-pagi, begadang bahkan gak tidur, ulangan bahasa, sampai kelaparan tengah malam.             Dulu ketika rumah masih ramai, banyak yang pada musuhan. Gara-gara salah paham, sampai salah pakai barang orang. Entah kenapa, padahal satu rumah. Ada yang habis gara-gara ambisi, ada juga yang habis gara-gara terkena ambisi. Seisi rumah tuh kadang bikin bingung, protes aturan sana sini, tapi diikutin juga, tapi gak jarang juga protesnya berhasil. Untung ada kamar sebelah yang isinya gak temperamen dan untung ada pula yang sebenarnya lebih baik tidur daripada bangu

Anomali Toleransi

Image
                       Toleransi (sumber: theoddysseyonline.com) Ketika ada banyak sesuatu di relung dan otak Anda, tetapi tidak tahu harus memulai dari mana, itulah yang saya rasakan sekarang.             Dalam setiap tulisan yang ingin memberikan opininya tentang Indonesia dan segala polemik di dalamnya. Banyak penulis yang memulainya lewat kalimat yang menunjukkan kekayaan, keberagamaan, dan keistimewaan negeri khatulistiwa ini. Pembahasannya pun akan dimulai setelah kata-kata positif tersebut bertolakbelakang dengan apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat. Bisa dikatakan, hal tersebut dilakukan agar maksud ironi penulis sampai ke pembaca dengan jelas. Namun, dalam tulisan ini saya tidak akan memulai opini dengan kalimat-kalimat seperti itu karena tanpa dipaparkan, kalian mungkin sudah sangat dekat dengan ironi yang sedang melanda Indonesia belakangan ini. Ironi tersebut berupa anomali toleransi .             Siapa yang tidak mengenal kata “toleransi”? Sebuah ka

Desa, Tetaplah Desa

            Matahari perlahan menunjukkan rupanya, tanda hari yang baru akan segera dimulai. Bagi Deri, hari baru ini adalah hari yang ditunggu-tunggu. Dengan cepat, Deri mulai menyiapkan segala  keperluan sekolahnya. Sepatu hitam mengkilat dan baju putih abu-abu sudah dipakainya dengan rapih dan sempurna. “Akhirnya, tiba waktuku ke kota untuk melanjutkan pendidkan di sekolah yang aku dambakan.” Pikir Deri dalam hati sambil memakai dasi abu-abunya yang masih terlihat kaku. Setelah sarapan, Deri pun berangkat dengan Ibu yang dengan bahagia mengantarkannya sampai ke depan rumah. Seiring perjalanan melewati desa, dengan sopan, Deri menyapa setiap warga yang ditemui sambil mengamati keadaan desa yang menawan.             “Pagi ini sama dengan pagi biasanya, desa ini tidak pernah berubah”, ujarnya dalam hati sambil menarik nafas panjang untuk menikmati udara pagi yang sejuk. Ibu-ibu yang ingin menyiapkan sarapan untuk keluarganya satu per satu meneriakkan tukang sayur yang lewat. Ada j

Makna Senja

Termenung dalam senja Lembayung warna duaja Membiarkan memori bersuara Melantaskan kasih jiwa berjasa Kisah sarat bahasa Berselimut nuansa makna Kini, ruang pikir sesal Sekadar perilaku rasional Terlontar pada insan ideal Lalu, Jiwa berontak, Terkurung, Padahal tidak terlontang-lantung, Lalu, Raga mengadu Berteriak gagal sendu Padahal masih bilangan satu Lalu, Tak peduli rasanya, Hiraunya, Menuntut jiwa sempurna Sosok utuh dalam buana Kini, Jiwa bertanya Merasakan kekosongan semu Teringat harapan beriring fasihat Menyadari kasih tak ragu bersurat Mensyukuri doa yang dekat Kini, Kita menjadi satu dalam ruang Melukis memori dalam masa Melewati garis asa Menikmati kesempurnaan senja