Rumah Kosong


“Rumah kosong, sudah lama ingin dihuni, adalah teman bicara, siapa saja atau apa.”
-          Rindu, Banda Neira

            Dulu ketika rumah masih ramai, sukanya pada ngehujat siapa saja yang lewat. Gak teman sekamar, gak pengurus rumah, gak satpam, semuanya bisa kena. Alasannya banyak, terlebih, tiga tahun di sana isinya terasa penuh beban. Dari makan pagi yang dikasih waktu pas hari libur, ngurusin acara, kumpul pagi-pagi, begadang bahkan gak tidur, ulangan bahasa, sampai kelaparan tengah malam.

            Dulu ketika rumah masih ramai, banyak yang pada musuhan. Gara-gara salah paham, sampai salah pakai barang orang. Entah kenapa, padahal satu rumah. Ada yang habis gara-gara ambisi, ada juga yang habis gara-gara terkena ambisi. Seisi rumah tuh kadang bikin bingung, protes aturan sana sini, tapi diikutin juga, tapi gak jarang juga protesnya berhasil. Untung ada kamar sebelah yang isinya gak temperamen dan untung ada pula yang sebenarnya lebih baik tidur daripada bangun.

            Dulu ketika rumah masih ramai, mereka pada gengsian dan saling pamer. Dari gengsi nilai sampai gengsi punya pacar. Gak jarang ada yang mikir gini,

“ kok gue nilainya delapan, padahal dia dapet sembilan.”

“kok nilainya gedean dia, ya.”

“Malam minggu depan gue harus tawaf, bodo amat.”

Tapi banyak juga yang mikir gini,

“Alhamdullah, 75.”

“Wah, selamat ya.”

“Enak ya jomblo, gak ribet apa-apa harus bareng.”

            Dulu ketika rumah masih ramai, banyak yang kalau ulang tahun dikerjain habis-habisan. Dimasukkin ke tong sampah, dilemparin tepung, dikerjain pengurus rumah, sampai dilempar ke kolam renang. Intinya, semakin kamu dikenal sama kamar sebelah, maka makin berat cobaanmu di hari ulang tahun.

            Dulu ketika rumah masih ramai, banyak yang saling cerita tentang kesehariannya sebelum tinggal di rumah itu. Sebenarnya hal ini yang paling bernilai karena mereka punya warnanya masing-masing. Saling menertawakan, saling tukar opini, sampai saling tukar hujatan.

            Dulu ketika rumah masih ramai, banyak yang bakal kena bully kalau gak tahu berita terbaru. Entah tentang politik, sosial, bola atau berita tentang kehidupan. Cukup tradisi yang membangun. Semakin banyak hal yang diketahuin, semakin kamu dihargai. Asal, mau bagi-bagi.

            Dulu ketika rumah masih ramai, pengurus rumah sering dijadikan musuh bersama dibalik perannya sebagai panutan. Gimana enggak, peraturan dibuat dadakan dan kadang tanpa konfirmasi. Bahkan, sesama pengurus pun kena juga getahnya. Rumah ini memang lucu, seisi rumah disuruh paham dan memberi saran tentang keadaan rumah tetapi pengurus rumah tetap menjalankan rumah dengan apa yang dimauinya.

          Ya sudah.
      
              Kami rindu saja pengurus rumah yang dahulu, entah kenapa. Walaupun begitu, pengurus rumah yang ada dan sudah keluar,  mereka tetap kebanggaan kami yang banyak mengajarkan keadaan di luar rumah. Yang sejatinya lebih berwarna daripada di dalam rumah.

            Dulu ketika rumah masih ramai, gak peduli siapa kamu, dia, atau mereka. Kamu akan dianggap sebagai keluarga. Bilang saja apa kesulitanmu, maka mereka datang. Ya, kebaikan mereka memang tidak ada batasnya. Kamar ke kamar, pasti ada aja yang ngingetin kebaikan, Walau gak jarang ada yang mengajarkan keburukan. Huft.

            Dulu, ketika ramai.

            Dulu, ketika ada mereka.

            Sempat beberapa kali ke rumah itu dan memerhatikan sudut-sudut rumah, rasanya ada mereka di sana. Tetapi nyatanya rumah itu sudah beda.
    
        Kini, rumah kosong.

            Mengingat rumah rasanya ingin tertawa. Ingin kembali, tetapi juga pergi karena kenyataannya kini keramaian rumah itu hanya bagian dari imaji.


            

Comments

Popular posts from this blog

Waktu, Rindu, dan Satu - Apresiasi Film Flipped

Menelisik Fokus Pemerintah Terhadap Pengembangan Infrastruktur Melalui APBN 2017

Anomali Toleransi