Anomali Toleransi
Toleransi (sumber: theoddysseyonline.com) |
Ketika ada banyak sesuatu di relung dan otak Anda, tetapi tidak tahu harus memulai dari mana, itulah yang saya rasakan sekarang.
Dalam setiap tulisan yang ingin
memberikan opininya tentang Indonesia dan segala polemik di dalamnya. Banyak
penulis yang memulainya lewat kalimat yang menunjukkan kekayaan, keberagamaan,
dan keistimewaan negeri khatulistiwa ini. Pembahasannya pun akan dimulai
setelah kata-kata positif tersebut bertolakbelakang dengan apa yang sebenarnya
terjadi di masyarakat. Bisa dikatakan, hal tersebut dilakukan agar maksud ironi
penulis sampai ke pembaca dengan jelas. Namun, dalam tulisan ini saya tidak
akan memulai opini dengan kalimat-kalimat seperti itu karena tanpa dipaparkan,
kalian mungkin sudah sangat dekat dengan ironi yang sedang melanda Indonesia
belakangan ini. Ironi tersebut berupa anomali
toleransi.
Siapa yang tidak mengenal kata
“toleransi”? Sebuah kata positif yang mungkin kerap dihadirkan untuk
menunjukkan rasa tenggang rasa atas perbedaan yang ada di masyarakat dan kata
yang harusnya dijadikan alat dalam mengintegrasikan masyarakat multikultural di
suatu wilayah.
Lalu,
apa yang sebenarnya terjadi?
Pembahasan ini akan dimulai dari
sebuah sarkasme yang saya temukan dalam media sosial yang berisi tiga premis berkenaan
dengan toleransi. Isinya dituliskan bahwa orang
yang berpuasa wajib menghormati orang yang tidak berpuasa, orang yang santun
wajib menghormati orang yang berlaku kasar, dan orang yang berhijab wajib menghormati
orang yang telanjang.
Premis-premis dalam analogi tersebut
saling menunjukkan implikasinya yang jika kita breakdown satu persatu akan menghadirkan suatu kebenaran. Orang
yang berpuasa seharusnya akan menjaga perilakunya agar pahala puasanya dihari
itu terjaga, sehingga mereka akan santun. Semua yang tidak berpuasa bisa saja
berperilaku kasar karena mereka sedang tidak berada dalam sebuah pantangan.
Lalu, orang berhijab (yang dalam hal ini adalah orang muslim) juga pasti akan
berpuasa, dan yang telanjang juga dapat dipastikan tidak berpuasa. Jadi apakah
analogi di atas benar secara aturannya? Bagaimana perspektif Anda? Saya pribadi
tanpa memandang anomali premis, menganggap analogi tersebut benar.
Namun, bagaimana jika kita
menghadirkan anomali dalam setiap premis-premis di atas. Pasalnya merujuk
kepada realita, premis-premis di atas sesungguhnya memiliki kadar anomali yang
berbeda-beda ditambah tidak dapat ditakar dengan angka. Mari kita paparkan satu
per satu premis-premis di atas.
Orang
yang berpuasa wajib menghormati yang tidak berpuasa
Dengan
berusaha berpandangan non-etis. Saya menganggap bahwa hal tersebut sah-sah
saja. Walaupun dalam tulisannya, Tere Liye berpendapat bahwa logika di atas
sudah kelewat batas. Berikut adalah kutipan argumen beliau terkait pernyataan di
atas.
“Bahkan
perintah shaum, itu hampir seusia manusia di bumi ini. Maka tidak pantas,
manusia mengkritisi puasa, memandangnya sebagai sesuatu yang artifisial, tidak
penting, dsb. Sama dengan sebuah komplek, itu komplek sudah 1.434 tahun punya
tradisi tidak boleh memelihara hewan peliharaan. Kemudian datanglah keluarga
baru, membawa hewan yang berisik sekali setiap malam. Siapa yang disuruh
menghormati? Apakah warga satu komplek yang disuruh menghormati keluarga dengan
hewan berisik tersebut?
Dengan alasan egaliter, HAM,
kesetaraan, kebebasan, dan omong kosong lainnya. Kalian tahu, ketika
orang-orang tidak mempunyai argumen substantif dalam hidup ini, maka senjata
mereka hanya itu: kebebasan.
Hampir semua agama itu punya ibadah
yang harus dihormati. Di Bali misalnya, saat Nyepi, mau agama apapun semua
orang diminta menghormati agama Nyepi. Tidak ada alasan: kebebasan, boleh dong
saya hura-hura saat Nyepi.”
Untuk
tulisan Tere Liye yang lengkap bisa Anda cari di Internet.
Menanggapi tulisan Tere Liye, saya
merasa ada sebuah substansi yang dapat saya simpulkan. Toleransi merupakan hal yang menyangkut sistem mayoritas &
minoritas. Jika dilihat dari
analogi dalam tulisan Tere Liye, mayoritaslah yang seharusnya dihormati. Ketika
ada seorang muslim yang sedang berpuasa di suatu negeri yang berminoritas agama Islam, apakah tradisi yang sudah lama
ada ini dapat menjadi substansi yang kuat dalam menuntut sebuah hak untuk
dihormati? Bagaimana hal tersebut harus ditanggapi?
Jika ditelaah lebih lanjut, saya
juga dapat kembali menganalogikan pandangan Tere Liye dengan perihal lainnya,
yakni berkenaan dengan sistem apartheid yang telah berlaku berabad-abad dan
kini telah perlahan memudar. Jika kita aplikasikan kembali analogi toleransi mayoritas minoritas di atas, maka sistem
apartheid yang banyak merenggut rasa kemanusiaan tidak akan pernah hilang dari
dunia ini. Pasalnya, kaum kulit hitam sebagai minoritas di Benua Amerika akan
terus menghormati kaum kulit putih dan kaum kulit putih akan menganggap dirinya
superior karena hal tersebut.
Lanjut kepada pembahasan premis
selanjutnya, yaitu
Orang
yang santun wajib menghormati orang berperilaku kasar.
Sekilas saya yakin Anda akan
berpikir bahwa pernyataan di atas adalah salah. Sebagai contoh, siapa yang mau
menghormati anak muda yang mencemooh orang tua? Tidak ada bukan? Lalu,
bagaimana dengan orang yang sedang dipalak preman? Orang santun tersebut kan
menuruti kemauan preman berarti hormat, dong? Nope. Orang santun dalam
kondisi tersebut menunjukkan ketakutan, bukan
rasa hormat. Namun, satu hal dalam otak saya, bagaimana jika yang menjadi orang
santun adalah orang yang beragama minoritas dan orang yang berperilaku kasar
adalah agama mayoritas? So, how is the
word of tolerance going to work in this condition?
Terakhir, yaitu premis ketiga yang
berkata bahwa
Orang
yang berhijab wajib menghormati orang yang telanjang.
Dalam
hal ini saya berpendapat dengan parameter bahwa pernyataan di atas dilihat dari
posisi mereka di tempat umum. Orang yang berhijab (dalam hal ini adalah orang
muslim) sesungguhnya adalah orang yang sedang menjalankan ajaran agamanya.
Sedangkan, orang yang telanjang? Tentu saja tidak. Tetapi sayangnya, anomali
dalam realita berbicara, mereka yang berhijab banyak yang tidak dapat
mempertanggungjawabkan “hijabnya”. Namun, sebaliknya aksi mereka yang telanjang
bahkan berani mempertanggungjawabkannya.
Kembali kepada topik anomali
toleransi, keadaan menunjukkan bahwa masyarakat telah lupa kata “saling” dalam
pengertian toleransi. Banyak masyarakat yang lebih membahas siapakah harusnya
yang menghormati dan siapakah yang salah? Padahal KBBI jelas menunjukkan bahwa
pengertian toleransi adalah saling menghormati. Tidak perlu membahas derajat
untuk menentukan siapa yang dihormati dan menghormati. Jika Anda belum mengerti
pengertian dari kata “saling”. KBBI kembali mengatakan bahwa saling adalah
bentuk bahasa yang menunjukkan makna timbal balik dan kata untuk menerangkan
perbuatan yang berbalas. Tolong, jangan lupakan saling dalam toleransi.
Esensinya cukup kuat dalam implementasinya. Toleransi dengan arti saling menghormatinya
harus terus dijaga.
Tulisan ini adalah opini saya
terkait apa yang terjadi belakangan ini. Saya mohon maaf jika ada kata-kata yang
kurang berkenan dan menyinggung Anda. Jujur, tidak ada maksud sedikit pun untuk
itu. Sesungguhnya, saya juga dalam proses pembelajaran dan mencoba meluruskan
logika-logika yang tersesatkan karena sesungguhnya saya juga sedang mengalami
hal itu. Jika Anda memiliki pandangan yang berbeda silakan tulis komentar di
bawah. Terima kasih
*Anomali = ketidaknormalan; penyimpangan dr
normal; kelainan; 2 Ling
penyimpangan atau kelainan, dipandang dr sudut konvensi gramatikal atau
semantis suatu bahasa;
*Non-etis
= tidak melihat baik buruknya fakta.
Comments
Post a Comment