Desa, Tetaplah Desa
Matahari
perlahan menunjukkan rupanya, tanda hari yang baru akan segera dimulai. Bagi
Deri, hari baru ini adalah hari yang ditunggu-tunggu. Dengan cepat, Deri mulai
menyiapkan segala keperluan sekolahnya.
Sepatu hitam mengkilat dan baju putih abu-abu sudah dipakainya dengan rapih dan
sempurna. “Akhirnya, tiba waktuku ke kota untuk melanjutkan pendidkan di
sekolah yang aku dambakan.” Pikir Deri dalam hati sambil memakai dasi
abu-abunya yang masih terlihat kaku. Setelah sarapan, Deri pun berangkat dengan
Ibu yang dengan bahagia mengantarkannya sampai ke depan rumah. Seiring perjalanan
melewati desa, dengan sopan, Deri menyapa setiap warga yang ditemui sambil
mengamati keadaan desa yang menawan.
“Pagi
ini sama dengan pagi biasanya, desa ini tidak pernah berubah”, ujarnya dalam
hati sambil menarik nafas panjang untuk menikmati udara pagi yang sejuk. Ibu-ibu
yang ingin menyiapkan sarapan untuk keluarganya satu per satu meneriakkan
tukang sayur yang lewat. Ada juga yang membersihkan halaman rumahnya dan
mengantarkan anaknya ke sekolah. Saling sapa dan tukar senyum mengisi kegiatan
penduduk di pagi ini. Beranjak siang, keadaan desa menjadi sepi, mereka yang
bekerja berhenti sejenak untuk beristirahat. Ada sesekali kendaraan bermotor
dan sepeda yang lewat. Namun, mereka sudah tahu apa yang harusnya dilakukan,
mereka akan memelankan suara motor dan tidak membunyikan lonceng sepedanya.
Suasana yang tenang dengan suara angin yang menyapu dedaunan tidak pernah
terusik keberadaanya.
Tak
terasa, Deri telah sampai di perbatasan kota dan desa. Di hadapannya terdapat
mobil kencang berlalu lalang. Lampu lalu lintas yang setiap menit berganti berusaha
mengatur kesibukan orang kota. Gedung-gedung yang saling berlomba mencakar
langit memantulkan cahaya teriknya kota di siang hari. Dengan teliti, Deri melihat
setiap pergerakan yang ada di kota. Keningnya dengan sekejap mengekerut memerhatikan
keanehan kota yang baru pertama kali dilihatnya. “Mengapa mereka semua menunduk
dan tidak menyapa satu sama lain, ya? Mengapa mereka juga berjalan tergesa-gesa
dan saling menabrakan bahu di keramaian?” Pertanyaan berantai dengan cepat
dilontarkannya. Sambil tetap memerhatikan seisi kota, Deri terus berjalan
menuju sekolah barunya.
Sesampainya
di sekolah, ia mendapati diri tertegun melihat anak-anak seumurannya telah
membawa mobil dan motor. Dirinya yang lugu dengan spontan berucap, “Wah, ternyata di kota anak seumuranku
sudah bisa punya surat izin mengemudi, ya. Pantas saja jalan di kota menjadi
macet.”
Dengan
mata yang terus memerhatikan seisi sekolah, Deri berjalan ke kelasnya. Deri
takjub dengan tata bangunan sekolah yang lebih modern dan berbeda dari desanya. Pelajaran pertama di sekolah
baru pun dimulai, seperti tahun ajaran baru pada umumnya, tiap anak akan
dipersilahkan untuk mengenalkan diri. Dengan sopan, Deri memperkenalkan diri
dihadapan teman-teman barunya. “Perkenalkan, namaku Deri Ranuhmana. Kalian bisa
panggil aku Deri.” Seketika, teman-temannya tertawa kecil. Deri yang bingung
langsung bertanya ke teman sebangkunya, Rizky. “Riz, kenapa mereka tertawa,
ya?” tanya Deri pelan-pelan. “Der, lo itu
di kota, jangan pakai aku kamu, kayak
banci, pakai gue elo biar kelihatan
keren.” Jawab Rizky dengan nada menasihati. Deri pun mengangguk-angguk tanda mengerti,
padahal dia merasa kebingungan.
“Gue, elo. Bahasa kota itu lebih buruk
dari desa, ya. Katanya, mereka menggunakan bahasa ini biar terlihat lebih
keren. Padahal, aku dan kamu adalah bahasa Indonesia yang lebih baik.” Pikir
Deri dalam hati. Perlahan, Deri mulai merasa kota adalah tempat yang aneh
baginya. Ditambah, ketika istirahat, di belakang sekolah dekat kantin, dia
menemukan segerombolan anak-anak yang sedang merokok dan menikmati film porno
dalam genggaman smartphone. Deri
terdiam, perlahan mengambil potret anak-anak di desanya. Di desa, ketika
sekolah, pemandangan yang ditemui pasti anak-anak yang berlari-lari dan bermain
sepak bola di lapangan atau hanya sekadar mengobrol di kantin sekolah. Boro-boro menonton film porno, smartphone saja mereka tidak punya.
Telepon genggam dengan layar kecil masih bertahan menemani Deri dan teman-temannya
di desa.
Deri
yang termenung di kantin sekolah dikagetkan oleh suara lonceng masuk jam
pelajaran terakhir. Dengan tergesa-gesa, ia berjalan cepat karena takut
terlambat ke kelas sambil membayangkan dirinya dihukum di depan kelas.
Ternyata, dirinya yang terburu-buru dipandang aneh oleh setiap murid yang ada.
Mereka yang berjalan santai saling berbisik seolah mempertanyakan kenapa Deri
terlihat terburu-buru. Dengan tak peduli, ia terus berjalan ke kelas yang
berada di lantai dua.
Deri
menghentikan langkahnya di depan pintu ruang kelas. Dengan nafas yang
tergopoh-gopoh, ia meminta maaf kepada gurunya yang ternyata sudah berada di
dalam kelas. Deri takut apa yang dibayangkannya terjadi, tetapi ternyata gurunya
juga mempertanyakan hal yang sama seperti anak-anak lainnya. “Kamu kenapa
berlari, Der? Santai saja, hanya telat dua menit, lagipula saya juga baru
datang.” Ujar Ibu Resti santai sambil mempersilahkan murid lainnya untuk masuk
ke dalam kelas.
Seiring
jam belajar mengajar berlangsung, Deri tidak bisa fokus dan memerhatikan
gurunya dengan baik. Pikirannya terbagi antara pelajaran dan juga kondisi
sekolah serta kota hari ini. Ia terus merenung dan satu per satu komentar
negatif tentang kota muncul dipikirannya.
Apakah
ini yang dikatakan maju dan mengagumkan oleh setiap orang yang pernah pergi ke
kota? Apakah mereka sadar kalau kota yang saat ini mereka tempati selalu berusaha
membenarkan segala hal. Seperti halnya mereka yang dengan mudah membenarkan penyogokan, pengubahan tatanan bahasa, film
porno, dan ngaret. Di kota, saling
sapa juga terlihat hal yang tabu, mereka seperti hidup dalam ruang yang asing
dan melupakan kodratnya sebagai makhluk sosial.
Deri
merupakan salah satu orang yang pintar di desa yang berusaha meraih impiannya
di kota. Tetapi, jika semua orang pintar akan berperilaku menjadi apa yang ia
lihat hari ini, Deri pun enggan untuk tetap sekolah di tempat yang katanya maju
tetapi penuh oleh orang yang gila uang dan kesibukan. Pantas saja, ketika orang
kota bermain ke desanya, mereka selalu asik menggunakan smartphone-nya dan mengabaikan orang-orang di sekitarnya dengan
alasan pekerjaan. Kekesalan Deri semakin menjadi-jadi ketika dia tahu orang
kota yang berasal dari desanya sudah terjangkit virus kota yang merusak norma
yang berlaku di desanya. Walaupun baru sehari di kota, ia telah merasa bahwa
kota adalah ruang yang tidak harmoni. Deri pulang dengan kecewa, dirinya yang
menganggap kota adalah tempat terbaik harus berbalik badan karena realita kota
yang tidak sesuai harapan.
“Bu, aku mau sekolah di desa saja.” Ucap
Deri dihadapan ibunya ketika sampai di rumah. Ibunya yang saat itu sedang memasak
langsung mematikan kompornya. Ia bingung, mengapa anak pintarnya tidak mau
bersekolah di kota, padahal itu adalah
cita-cita Deri sejak kecil.
“Aku
tidak mau kesopananku, keakrabkanku terhadap penduduk, dan nilai-nilai lainnya
berubah hanya karena tuntutan lingkungan kota, Bu.” Ucap Deri yang berusaha
meyakinkan ibunya.
“Tetapi
nak, kamu bisa mengembangkan desa ini
menjadi lebih maju dan sejahtera kalau kamu berhasil.” Ucap ibu Deri dengan
sedikit kebingungan.
“Tidak,
Bu. Jika yang ibu katakan maju seperti kota, maka itulah justru yang aku
hindari. Di luar sana, banyak orang yang hilang akal pikirnya hanya untuk
sekadar mengikuti perkembangan zaman dan uang.
Aku tidak ingin penduduk di desa
juga menjadi seperti itu, Bu. Di kota, kita akan sulit menemukan masyarakat
yang ramah, penduduk yang dengan sukarela bergotong royong dan peduli.
Sedangkan di desa, hal itu malah akan mudah kita temui, Bu.”
“Baiklah,
Nak. Ibu mengerti maksud kamu. Ibu
juga sebenarnya takut kamu akan terbawa oleh arus pergaulan yang tidak wajar.
Sudah banyak kasus-kasus kenakalan yang
melibatkan remaja di kota dan ibu tidak mau kamu terjerumus di dalamnya. Seperti
Fahmi, tetangga kita, ia terlibat dalam kasus penggunaan narkoba. Ibu tidak
pernah memberitahumu hal ini karena ibu tidak ingin membatasi keinginanmu, nak. Jika memang kamu mau sekolah di
desa, besok atau lusa ibu akan
mendaftarkanmu ke sekolah baru, ya Der.” Kata ibu dengan mata yang
berkaca-kaca.
“Terima
kasih, Bu. Kalau begitu, aku akan bergegas mandi lalu bersiap untuk makan malam.”
Meninggalkan ibunya yang sedang berada di dapur dengan membawa tas ransel yang
masih berada di punggungnya.
Seusai
makan, Deri pergi ke kamarnya untuk belajar. Dibukanya jendela kamar yang
menghadap ke jalan dengan kedua tangannya. Deri yang masih berniat untuk
menggapai pendidikan yang tinggi mencoba belajar sendiri sampai ia bersekolah
kembali. Di tengah-tengah pembelajaran, ia membuka buku catatan hariannya untuk
menuliskan hari yang dianggapnya penting itu.
29 Januari 2009
Aku
selalu yakin kalau desa ini adalah tempat yang tenteram dan nyaman. Tidak
peduli dengan teknologi nan canggih di luar sana, kami akan tetap hidup dengan
kekeluargaan dan norma ndeso yang
mengelilingi kami. Percuma saja alat-alat dibuat semakin canggih kalau harus
mengorbankan nilai-nilai persaudaraan dan moral yang ditanamkan sejak lama.
Desa, tetaplah desa, tidak akan ada degradasi moral dalam embel teknologi. Aku
cinta desaku, sama seperti kalian mencintai ruang asing, wahai orang kota.
Ditutupnya
buku harian itu dan disimpannya di laci meja belajar. Deri percaya, apa yang
dilakukannya hari ini adalah hal yang baik untuknya dan desanya. Tak peduli
sehijau apa rumput tetangga, baginya warna rumput sendiri memiliki arti dari
hasil jerih payah penghuni rumah yang terbaik.
Comments
Post a Comment