Revitalisasi Kota Tua Sebagai Langkah Konkret Peningkatan Mutu Pariwisata
Sang Tua yang dulu bersinar oleh kemegahannya, kini hanya intan kusam
penuh retakan, perbuatan mereka yang menelantarkannya. Oude Batavia, Sang
Oldiest Colonialism City se-Asia Tenggara, sebuah manifestasi peradaban,
nilai-nilai perjalanan panjang Indonesia berlari bersama modernitas nan ganas.
― Imanuel Suranta
Kota Tua Jakarta (sumber: smartcityjakarta.go.id) |
Realisasi era liberalisasi menghadirkan potret tantangan akan kebutuhan sistem yang menunjang pembangunan pariwisata secara komprehensif dan efektif. Kemajuan pariwisata dunia yang pesat dapat melumpuhkan dan memberikan posibilitas wisatawan domestik dan asing untuk berpaling dari keindahan pariwisata indonesia. Ditambah menurut data dari The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), Indonesia hanya memiliki delapan warisan dunia yang diakui. Padahal Indonesia merupakan bangsa multikultural dengan lebih dari 300 kelompok etnik dari 1128 suku bangsa dan 746 bahasa daerah (BPS, 2010). Berbeda dengan Italia, UNESCO telah mengakui lima puluh warisan dunia berasal dari wilayah seluas 301.338 km2 itu. Apabila tidak dapat ditangani dengan bijaksana, hal tersebut akan berakibat fatal yakni pelumpuhan dan degradasi kekuatan sektor pariwisata Indonesia secara perlahan. Menghadapi tantangan ini, Indonesia perlu melakukan improvisasi dan revitalisasi lokasi wisata sebagai wujud refleksi problema tersebut. Oleh karena itu, esai ini akan berusaha menganalisis faktor penghambat pembangunan pariwisata dalam negeri dan solusi yang tepat untuk dicanangkan sebagai regulasi disertai alasan yang melatarbelakanginya. Penulis menunjuk Kota Tua Jakarta sebagai objek analisis reprentasi lokasi wisata yang perlu direvitalisasi.
Kota
Tua Jakarta merupakan salah satu lokasi pariwisata yang tak pernah beristirahat
sejenak atau sepi dari pengunjung. Kota yang dahulu dikenal sebagai Batavia
Lama (Oud Batavia) ini adalah mantan
pusat perdagangan benua Asia karena lokasinya yang sangat strategis (www.wikipedia.org). Di area seluas 1,3 km2, Kota Tua
Jakarta memiliki berbagai macam bangunan dan tempat yang bernilai historis
tinggi, seperti Musem Wayang, Toko Merah, Jembatan Tarik Kota Intan, Lapangan
Fatahillah, Menara Syahbanar, Museum Bahari, dan lain-lain. Semua lokasi
tersebut sesungguhnya menjadi daya jual yang tinggi bagi Kota Tua yang notabene
sebagai salah satu tempat bersejarah di Indonesia. Namun, ketidakseimbangan
berbagai faktor telah menghambat eksistensi Kota Tua Jakarta.
Faktor
pertama dari terhambatnya pembangunan Kota Tua Jakarta adalah liberalisasi dan
modernitas yang telah membawa wisatawan domestik berbondong-bondong pergi ke sektor
pariwisata lainnya. Sektor dengan lingkungan pariwisata yang berpondasi pada kemahiran
teknologi, layaknya taman hiburan, bioskop dan restoran telah menggeserkan
posisi Kota Tua Jakarta. Berdasarkan data statistik pariwisata Jakarta tahun
2013 dan Data Unit Pengelola Teknis Kota Tua, terlihat bahwa terjadi
kesenjangan wisatawan domestik yang berkunjung ke tempat hiburan ternama di
Jakarta dan museum-museum yang berada di Kota Tua Jakarta, yakni 15.948.829
untuk salah satu tempat hiburan ternama di Jakarta dan 341.914 untuk Museum
Sejarah Jakarta. Data tersebut juga menunjukkan adanya penurunan yang drastis selama
2 tahun, yakni tahun 2012 dan 2013. Jumlah pengunjung pada tahun 2012 adalah
666.655 dari yang sebelumnya berjumlah 999.970 pada tahun 2011. Rendahnya biaya
retribusi yang dikeluarkan pada Kota Tua Jakarta nyatanya tidak meningkatkan
minat para wisatawan domestik untuk berkunjung ke Kota Tua Jakarta pada
tahun-tahun tersebut.
Di
sisi lainnya, pemugaran dan perencanaan revitalisasi Kota Tua Jakarta dalam
rangka peningkatan kualitas yang tidak terlaksana secara kondusif juga
merupakan faktor penghambat pembangunan Kota Tua. Menurut Sugihartoyo dan Wahyu
Agung Widagdo dalam jurnalnya yang berjudul Strategi
Pengembangan Wisata Kota Tua Sebagai Salah Satu Upaya Pelestarian Urban
Heritage Studi Kasus : Koridor Kali Besar, Jakarta Barat, Pemerintah DKI
Jakarta termasuk lambat dalam usaha pengembangan Kawasan Kota Tua Jakarta.
Selama lebih dari 30 tahun, rencana revitalisasi Kota Tua hanya menjadi sekadar wacana, tanpa ada realisasi yang
berarti. Kurangnya koordinasi antara pengurus Kota Tua Jakarta dan Pedagang
Kaki Lima (PKL) juga merupakan faktor yang menghambat perkembangan Kota Tua
Jakarta. Menurut data yang dilansir oleh www.tempo.com,
kondisi PKL di kawasan Kota Tua semakin semrawut dan tidak teratur. Pedagang
kian berani berjualan di tengah Taman Fatahillah dengan menggelar lapak berupa
meja-meja beserta kursinya. Alhasil, sampah-sampah yang bertebaran seakan
menjadi hal yang dipertontonkan di lokasi wisata yang dikenal dengan nuansa
“jadul”-nya. Hal tersebut menimbulkan kerisihan bagi para wisatawan, terutama
wisatawan asing. Pada awal Januari 2015, penulis berkunjung ke Kota Tua Jakarta
untuk menghabiskan waktu liburan. Sungguh menyedihkan ketika sampah berserakan
dan seakan-akan para pengelola dan wisatawan menganggap hal tersebut bukanlah
suatu masalah. Mirisnya, air mancur di
Lapangan Fatahillah sudah bercampur dengan air sampah makanan ringan hingga
airnya terlihat hijau mengental. Ketersediaan tempat sampah yang minim telah mendukung
para wisatawan membuang sampah pada tempat yang tidak semestinya. Kondisi
tersebut seakan-akan menghilangkan identitas Kota Tua Jakarta sebagai lokasi
pariwisata yang telah
ditetapkan sebagai Lingkungan Cagar Budaya yang dilindungi oleh perangkat hukum
melalui Surat Keputusan KDKI Jakarta No. Cd.3/1/1/1970.
Semrawutnya
sistem lalu lintas di sekitar Kota Tua juga ikut serta dalam penghambatan
pembangunan Kota Tua. Pada penghujung tahun atau pada saat liburan, berbagai
macam kendaraan bermotor terlihat menghalangi pemandangan eksotis sentral
perdagangan elit pada abad ke-16 itu. Wisatawan pun tak jarang dibuat resah
oleh kondisi tersebut. Pasalnya, asap yang tebal dan beracun, kemacetan yang
menggangu keselamatan para wisatawan, dan mikrolet yang nangkring sembarangan telah menjadi jamuan sebelum wisatawan dapat mengunjungi Kota Tua Jakarta. Rudy
P, dalam media online Tempo, menyatakan
pantauannya terhadap Kota Tua Jakarta. Dalam pantauannya, kendaraan roda dua
dengan leluasa bisa memasuki kawasan di area Museum Sejarah Jakarta. Para
pengendara juga bebas memarkirkan kendaraannya di mana pun. Sementara di
sudut-sudut lainnya, tampak juga jejeran parkir
sepeda motor yang dijaga oleh petugas parkir. Akibatnya, sebagian batu andesit
(sejenis marmer) yang sengaja dipasang di jalan Kota Tua menjadi rusak. Selain
itu, menurut Walikota Administrasi Jakarta Barat, Djoko Ramadhan, mengungkapkan
keprihatinannya pada infrastruktur kondisi manajemen lalu lintas. Ia mengatakan
bahwa Kota Tua masih sebagai lintasan bukan tujuan masyarakat dan wisatawan.
Faktor
terakhir dan utama dari terhambat pembangunan Kota Tua adalah banyaknya
bangunan di Kota Tua yang dimiliki oleh beberapa instansi, seperti BUMN, BUMD,
maupun swasta. Data Unit Pelaksanaan Teknis Kota Tua menyebutkan bahwa di Kota
Tua terdapat 284 bangunan. Dari total bangunan tersebut, hanya lima unit yang
dimilki Pemprov, sedangkan bangunan milik BUMN berjumlah 26 unit, milik swasta
21 unit, dan milik perorangan 7 unit. Sisanya, 225 gedung milik instansi atau
perorangan yang tidak jelas kepemilikannya.
Berdasarkan faktor-faktor di atas, dapat dinyatakan
bahwa revitalisasi Kota Tua Jakarta harus segera dilakukan tanpa perlu adanya
penundaan. Pasalnya, dari dimulainya pencanangan revitalisasi sampai esai ini telah
selesai disusun, keadaan Kota Tua Jakarta tidak mengalami perubahan yang
signifikan. Oleh karena itu, penulis ingin mencanangkan beberapa solusi yang
kelak dapat diimplementasikan dalam revitalisasi Kota Tua yang sedang
digalakkan. Solusi-solusi tersebut berakar pada konsep yang telah
dikenalkan oleh Eadington dan Smith dalam bukunya yang berjudul Tourism Alternative. Dalam bukunya,
mereka menjelaskan bahwa wisata alternatif adalah “Forms of tourism that are
consistent with natural, social, and community values and which allow both hosts and
guests to enjoy positive and worthwhile interaction
and shared experiences”. Dapat ditarik kesimpulan
bahwa wisata alternatif adalah jenis pariwisata yang konsisten dengan
lingkungan, sosial, dan masyarakatnya. Dengan demikian, penulis ingin Kota Tua
Jakarta dapat tetap mempertahankan eksistensinya, keasliannya, dan
kebudayaannya dengan mengimplementasikan konsep wisata alternatif.
Melalui konsep tersebut, penulis berpendapat bahwa hal
pertama yang harus dibenahi dalam tahap revitalisasi adalah perbaikan pelayanan
dan operasional. Pelayanan yang dimaksud adalah pembenahan kualitas atau
pemugaran museum yang berada di Kota Tua Jakarta. Kegiatan tersebut tidak
mengartikan pengubahan pada identitas tiap museum dan fasilitas yang ada.
Namun, jika kita beranjak pada kualitas museum di negara yang biasa dijuluki
dengan Negeri Paman Sam, yaitu Amerika
Serikat. Dalam salah satu museum terkenalnya National Museum of Natural
History, pelayanan museum yang mereka berikan sungguh menarik dan
menakjubkan. Penyajian artefak atau eksibisi yang tidak monoton memberikan
kesan yang luar biasa kepada pengunjung. Hal tersebut dapat dilakukan tanpa
harus merekonstruksi secara keseluruhan bangunan museum atau bahkan mengubah identitasnya. Dengan begitu,
keaslian identitas histori yang tinggi dapat berjalan selaras dengan
perkembangan teknologi. Dengan demikian, alasan berpindahnya para wisatawan ke
sektor pariwisata yang mahir teknologi tidak akan terdengar lagi. Para wisatawan
nusantara juga akan mendatangi Kota Tua untuk mempelajari dan mengamati nilai-nilai
historis yang ada pada tiap museum di Kota Tua Jakarta, tidak hanya foto-foto
atau sekadar nongkrong-nongkrong saja sambil menyumbangkan sampah pada
lingkungan Kota Tua Jakarta.
Ditambah, untuk meningkatkan wisatawan domestik atau
nusantara perlu juga digalakkan promosi Kota Tua Jakarta pada masyakarat Indonesia
atau promosi pariwisata dalam negeri. Selama ini, penulis mendengar bahwa
promosi pariwisata DKI Jakarta hanya berkoar-koar di luar negeri.
Padahal, tanpa diadakannya promosi pariwisata DKI Jakarta secara intensif ke
luar negeri, wisatawan asing akan datang ke Indonesia untuk mengunjungi lokasi
wisata yang memiliki identitas khas Kota Jakarta sebagai ibukota negara
khatulistiwa. Kegiatan promosi pariwisata di luar negeri secara tidak langsung dapat
menghabiskan anggaran daerah, padahal dana yang tersedia dapat dialokasikan
kepada pembenahan pelayanan museum yang telah disebutkan sebelumnya. Pada zaman
yang sudah serba canggih ini, akan lebih efektif dan efisien apabila promosi pariwisata
luar negeri dilakukan melalui Internet. Berbeda dengan masyarakat Indonesia,
promosi pariwisata bisa dilakukan dengan pengadaan acara bertajuk “Sejarah
dalam Kota Kita”. Acara tersebut, bisa saja mengkombinasikan modernitas dengan
sejarah Kota Tua dalam satu event yang dikira dapat menarik perhatian
publik, layaknya dalam bentuk pementasan musik, pantomim, dan pesta kembang
api.
Selanjutnya adalah penertiban dan pengaturan Pedagang
Kaki Lima (PKL). Sesuai dengan konsep wisata alternatif, penertiban Pedagang
Kaki Lima (PKL) akan memberikan sedikit
ruang untuk Kota Tua Jakarta eksis kembali dalam kejaran modernitas. Penertiban
PKL dapat dilakukan dengan pengaturan tempat penjualan dan pembatasan jumlah
PKL. Hal tersebut dilakukan agar kebersihan dan keamanan Kota Tua Jakarta dapat
terkontrol. Pelaksanaan dari pengaturan PKL juga harus dilakukan dengan tegas karena
kian hari semakin banyak PKL yang bandel
berjualan tanpa memiliki izin berjualan yang jelas. Jika hal tersebut dapat
dilaksanakan, wisatawan akan dapat leluasa menikmati Kota Tua sebagai lokasi
pariwisata sejarah seutuhnya. Jika pembatasan jumlah PKL tidak dapat memberikan
pengubahan yang berarti. Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Kota Tua juga dapat
membuat kesepakatan kepada para PKL mengenai sistem penjualan. Contohnya adalah
pemberian wewenang lebih kepada para PKL pada saat sebuah event
terlaksana di Kota Tua Jakarta. Namun, syarat dan teknisnya pun harus jelas
sehingga pemberian kesempatan lebih tersebut tidak membuat keadaan Kota Tua
Jakarta semakin buruk. Setiap PKL juga dapat disarankan untuk menyediakan tempat sampahnya masing-masing
agar sampah produk penjualan mereka dapat terorganisir dengan mudah. UPT juga
dapat memberikan semacam penghargaan bagi PKL yang dapat menjaga kebersihan
Kota Tua sebagai wujud interaksi yang baik bagi UPT dan PKL di Kota Tua
Jakarta.
Keadaan PKL yang semrawut ternyata memiliki korelasi yang
jelas dengan kondisi lalu lintas di sekitar Jakarta. Oleh karena itu, langkah
yang harus diambil adalah dengan memberlakukan pembatasan lintasan kendaraan
bermotor di sekitar Kota Tua Jakarta. Menurut tour guide Kota Tua
Jakarta pada saat penulis berkunjung awal Januari lalu, pada tahun 2015
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana untuk menutup Jalan Kemukus di
Kawasan Kota Tua. Hal tersebut juga ditunjang dengan dibuatnya jalur alternatif
yang sedang dalam perbaikan. Dengan demikian, kawasan kota tua mulai dekat
dengan konsep wisata alternatif yang dapat mempresentasikan suasana Jakarta
pada masa kolonial.
Solusi terakhir untuk penggalakan revitalisasi dan
pembangunan pariwisata Kota Tua Jakarta adalah dilakukannya sinergisasi antar
instansi. Pasalnya, banyak bangunan yang bukan milik Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta, sehingga Pemprov tidak memiliki kewenangan secara penuh untuk
melakukan renovasi. Sesungguhnya, upaya sinergisasi ini
dapat dimulai dengan pendataan secara serius oleh pemerintah, peningkatan
kesadaran pendataan dan renovasi yang dilakukan oleh pemilik dengan jalan
keringanan regulasi, dan kejelasan prosedur, serta dapat berupa bantuan dana
renovasi yang jelas dari Pemerintah jika diperlukan. P2B juga memegang peranan
penting untuk pengawasan renovasi sekaligus menjadi warning alarm bagi pemilik bangunan tua yang “nakal” dengan cara
menerapkan sanksi yang tegas sesuai dengan Undang-Undang dan jauh dari unsur
kolusi.
Harapannya, Revitalisasi Kota Tua
Jakarta dengan perwujudan konsep pariwisata alternatif dapat meningkatkan
kualitas pariwisata Kota Tua Jakarta secara intensif dengan langkah-langkah dan
solusi konkret yang telah penulis berikan. Dengan begitu, lokasi pariwisata
lainnya dapat meningkatkan mutu pariwisatanya masing-masing dengan referensi
solusi yang diberikan kepada Oud Batavia sebagai
representasi lokasi pariwisata yang perlu direvitalisasi. Sehingga nasib objek pariwisata
lainnya akan berorientasi kepada peningkatan mutu yang berkembang selaras dan
berdampingan dengan modernitas tanpa meninggalkan identitas.
Comments
Post a Comment