Peningkatan Mutu Rekrutmen Politik Sebagai Awal Pemberantasan Korupsi

Insider trading is a serious crime. Do you know what the penalty for doing it is? Nothing, if you’re a member of the congress.”
 Jarod Kintz
           
          
Politik. (sumber: twitter.com)

         Etos kerja representatif rakyat di pemerintahan kerap kali menjadi problematika nasional yang tak kunjung memadam. Pasalnya, harapan publik yang diletakkan seringkali dijatuhkan dan dipatahkan dengan buruknya kinerja yang diberikan. Sehingga, masyarakat pun geram melihat suaranya dipermainkan dan diselingkuhi oleh kepentingan pribadi dan partai. Maka tidak heran jika hasil jajak pendapat Lingkaran Survei Indonesia menunjukkan bahwa hanya terdapat sekitar 24% tingkat kepercayaan publik terhadap DPR.[1]

            Data tersebut merupakan salah satu bukti nyata gagalnya peranan dan kurang berfungsinya partai politik sebagai sarana kaderisasi wakil rakyat yang mapan. Ditambah, partai politik kini kerap digunakan sebagai kendaraan atau media untuk menyembunyikan uang rakyat yang akhirnya meningkatkan kekecewaan publik. Pernyataan tersebut didukung oleh data IndoBarometer yang dilansir www.nasional.inilah.com, bahwa mayoritas publik (54,6% responden) menyatakan ketidakpuasannya terhadap kinerja partai politik. Alasan utama ketidakpuasan tersebut (47,5%) berasal dari anggapan bahwa partai politik tidak pernah memperjuangkan kepentingan rakyat.

            Ketidakpuasan publik terus mencuat seiring dengan maraknya kasus korupsi yang melibatkan partai politik dalam pelaksanaannya. Salah satunya adalah kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games yang melibatkan Partai Demokrat. Dalam kasus ini, Mindo Rosalina Manulang (Direktur Marketing PT Anak Negeri) tertangkap tangan bertransaksi fee dengan Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga, Wafid Muharam. Dalam keterangan lengkapnya, Rosa menyebutkan PT Duta Graha menjadi pemenang karena sanggup memberi komisi 15% dari nilai proyek dengan komposisi 2% untuk Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga dan 13% untuk Direktur PT Duta Graha Indah, Muhammad mad el-Idris.[2] Kesepakatan tersebut disusun secara sistematis dan rapi dengan fasilitas yang diberikan oleh Muhammad Nazaruddin, mantan bendahara umum Partai Demokrat.

            Fee proyek; yang memberikan kelancaran perusahaan-perusahaan untuk menjadi pemenang proyek pemerintah tentu bukanlah salah satu dari sumber dana yang sah. Argumen yang kerap digunakan parpol dalam kasus serupa adalah kurangnya dana dalam menyelenggarakan sosialisasi partai. Padahal, setiap tahunnya negara telah mengeluarkan lebih dari 8 triliun sebagai dana bantuan keuangan parpol. Pada tingkat daerah pun parpol mendapatkan bantuan keuangan dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.

            Keterlibatan partai tidak hanya  direpresentasikan dengan campur tangan badan partai secara langsung dengan memfasilitasi kegiatan berdosa tersebut. Namun, keterlibatan partai juga dapat direpresentasikan dengan output-output kader partai yang girang melakukan korupsi di ranah pemerintahan.

            Dalam tahun 2014 saja, terdapat beberapa pejabat tinggi yang merupakan anggota partai politik ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Diantaranya adalah Suryadharma Ali, kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menjabat sebagai menteri agama ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait penyelenggaran haji 2012/2013. Jero Wacik yang merupakan salah satu kader dari Partai Demokrat dan menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 2009-2014 menjadi tersangka korupsi terkait dengan pengadaan proyek di Kementerian ESDM pada 2011-2013 dan Sutan Bhatoeghana (Ketua Komisi VII DPR 2009-2014 dari fraksi Demokrat) diduga terlibat dalam kasus pembahasan perubahan APBN 2013 di Kementerian ESDM.[3]

            Kasus-kasus di atas memaparkan bahwa proses kaderisasi dan rekrutmen partai tidak berjalan secara apik. Pasalnya, jika rekrutmen berjalan sesuai dengan standarisasi dan parameter yang tepat, angka penyalahgunaan wewenang dan keterlibatan kasus korupsi lainnya tentu tidak akan marak terjadi.

            Namun, menciptakan rekrutmen yang menjamin sirkulasi elit partai dan kader yang berkompeten tidaklah mudah. Hal tersebut terjadi lantaran pelaksanaan proses rekrutmen dalam partai politik di Indonesia sudah terlanjur berjalan secara pragmatis. Menurut KKBI, pragmatis adalah sifat yang mengutamakan segi kepraktisan. Jadi, jika dipandang dalam sisi politik, pragmatis menjelaskan bahwa kebanyakan partai politik lebih konsentrasi terhadap hasil praktis dan cenderung tidak peduli dengan proses pelaksanaannya. Terbukti dengan kecenderungan partai dalam mengutamakan kader-kader yang memiliki elektabilitas tinggi ataupun kemampuan dana yang memadai. Oleh sebab itu, mekanisme penjenjangan kaderisasi yang berlangsung dalam partai cenderung tidak transparan. Disinyalir, penempatan kader pada pos-pos tertentu dalam partai bukan berdasarkan kapabilitas dan keahlian. Namun pada kedekatan dengan elit maupun kemampuan untuk menyumbang dana ke partai.[4]

            Jika ditelaah lebih lanjut, hal tersebut memiliki pengaruh besar terhadap minat pemuda untuk berkancah di dunia politik dan pemerintahan, terlebih pemuda yang bukan berasal dari latarbelakang keluarga politikus. Sebenarnya pemuda masih memiliki perhatian lebih terhadap peristiwa politik dan persoalan kebangsaan. Namun, akibat tekanan pendidikan, ketidakpastian pekerjaan, dan degdradasi integritas yang mewarnai politik Indonesia, mereka tidak terlalu tertarik dengan dunia politik.

            Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat yang juga Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya, Hajriyanto Y Thohari, mempertajam kesalahan badan partai politik yang membuat kaum muda menyingkir dari dunia politik. Ia mengatakan, perekrutan pengurus partai juga sangat politis. Perekrutan pengurus didasarkan atas dukungan yang pernah diberikan kepada pimpinan partai saat pencalonan, bukan atas pertimbangan kualitas.[5]

            Kini, sudah seharusnya partai politik meningkatkan mutu rekrutmennya agar kepentingan bangsa dan negara dapat dikoordinir dengan baik sesuai dengan UU No. 31 Tahun 2002 pasal 1. Undang-undang tersebut berbunyi bahwa partai politik adalah sebuah organisasi yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum.

            Jika hal tersebut ditingkatkan, pemuda yang memiliki kemampuan dan juga simpati yang besar terhadap pembangunan negeri dapat berpartisipasi secara langsung sebagai representatif rakyat di meja pemerintahan. Sehingga korupsi dapat diberantas secara habis dari akarnya karena baik buruknya rekrutmen partai berpengaruh pada bibit korupsi di ranah politik.

            Berdasarkan analisis tersebut, penulis ingin mencanangkan beberapa solusi yang kelak dapat diimplementasikan dalam peningkatan mutu rekrutmen yang diiringi kaderisasi yang mapan dalam memberantas kasus korupsi di Indonesia. Solusi-solusi tersebut berakar pada karya tulis Rainbow Murray yang berjudul What makes a Good Politican? Reassessing the Criteria Used for Political Recruitment. Berdasarkan karya tulis tersebut dapat ditarik beberapa poin bahwa kriteria kepribadian representatif rakyat yang baik salah satunya adalah dengan memiliki tiga kebaikan atau three virtues. Ketiganya adalah fair-mindedness, Critical Trust Building, and Good Gate Keeping (Suzanne Dovi, 2007)

Fair mindedness

            Fair mindedness merupakan salah satu pola pikir politisi yang menegakkan norma-norma dan nila-nilai demokrasi perwakilan serta menghormati kebutuhan semua warga bahkan ketika membela sudut pandang tertentu. Mereka menunjukkan peranan demokrasi, menemukan resolusi dalam tiap konflik dan meningkatkan legitimasi lembaga-lembaga demokrasi. Mereka juga hadir untuk kesetaraan masyarakat yang juga termasuk dalam demokrasi.

            Dalam hal ini, korupsi akan perlahan terhapus oleh para kader rakyat karena junjungan demokrasi dan integritas dalam karakter mereka. Oleh karena itu, fair mindedness merupakan salah satu virtue yang wajib dimiliki.

Critical Trust Building

            Karakter representatif yang baik sudah seharusnya mempromosikan kepercayaan kritis publik. Hal tersebut mengartikan bahwa representatif harus dapat membantu bagaimana masyarakat dapat mengkritisi tiap kinerja politikus agar menjadi lebih amanah. Sehingga tercipta representatif yang selaras dengan pilihan rakyat. Selanjutnya, representatif politik harus ikut serta meningkatkan partisipasi politik dengan melakukan optimalisasi otonomi daerah seiringan dengan sinergisasi dari lembaga-lembaga terkait untuk menghindari bibit korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia.

Good Gate Keeping

            Dalam hal ini, gatekeeping berbeda dengan teori komunikasi gatekeeper yang dicetuskan oleh Kurt Zadek Lewin. Dalam konteks rekrutmen politik, Dovi memaparkan bahwa tiap representatif politik harus dapat menjamin keikutsertaan suara dari semua lapisan masyarakat termasuk masyarakat miskin dan terpinggirkan. Hal tersebut dianggap lebih baik daripada adanya pengecualian suara dari beberapa grup tertentu dalam proses politik. Jadi, kepentingan masyarakat terbangun dari suatu konsesus atau kesepakatan bersama.

            Dari basis kriteria di atas, kandidat yang ideal juga harus memiliki kemampuan interpersonal yang baik dan memiliki komitmen tinggi terhadap bangsa dan negara. Junjungan integritas yang tinggi dari tahap awal akan menciptakan rasa gengsi pada mereka yang akan melakukan korupsi.

            Lalu, untuk menghindari kebutaan politik dalam meja pemerintahan. Penulis mengusulkan bahwa tiap partai dapat mensyaratkan tiap calon kadernya merupakan lulusan sarjana politik atau sarjana terkait lainnya, seperti ilmu hukum, ilmu administrasi negara, dan lain-lain.

            Alternatif persyaratan selanjutnya adalah mensyaratkan pengalaman berorganisasi dari tiap calon kader partai. Pengalaman atau track record adalah cara yang baik untuk melihat dan memonitori kinerja calon kader partai pada organisasi-organisasinya terdahulu. Dalam aspek ini, terlihat bagaimana mereka menggunakaan kemampuan interpersonalnya, baik dalam hal negosiasi, komunikasi, dan menyelesaikan masalah.

            Kedua persyaratan di atas telah sesuai dengan kutipan dari karya tulis Rainbow Murray yang berisi, “High levels of education may be useful when enacting a policy-making role. But, so do other forms of training and experience, such as working in voluntary organizations, being involved in labour unions, participating in interest groups, or leading a community or event”.

            Namun, kriteria dan persyaratan mapan di atas juga perlu disertai dengan rekrutmen yang ketat dari sisi tim penyeleksi. Hal tersebut mengartikan bahwa tiap partai harus menjamin tidak akan ada permainan uang, kekuasaan, dan wewenang dalam pelaksanaannya. Keikutsertaan lembaga yudikatif juga dianggap perlu untuk menjaga proses rekrutmen dalam partai.

            Setelah rekrutmen yang selektif dan ketat, para kader juga harus mendapatkan proses kaderisasi yang mantap dalam partainya. Kaderisasi tersebut mengutamakan pengembangan kriteria representatif masyarakat dan peningkatan kualitas kerja jika nantinya terpilih.

            Dari sisi obyek kaderisasi partai politik, maka partai politik harus mengenali para anggota. Identifikasi anggota paling tidak mencangkup  beberapa hal. Pertama, karakteristik sosiologis dari anggota partai politik. Hal ini antara lain menyangkut posisi sosial, kebiasaan, modal sosial, pola relasi sosial. Kedua, karakteristik psiklogis dari anggota partai politik. Hal ini antara lain menyangkut tempramen, integritas, kepribadian, loyalitas. Ketiga, minat, bakat, dan kemampuan anggota. Masing-masing anggota partai politik dipetakan terhadap minat, bakat, dan kemampuannya agar pengembangan kapasitas anggota sesuai dengan kebutuhan organisasi partai politik maupun pemerintahan.[6]

            Selanjutnya anggota partai politik juga harus mengenali terhadap partai  politiknya. Anggota partai politik wajib mengintegrasikan diri dalam partai  politik.[7] Hal tersebut dianggap perlu agar kepentingannya dan kepentingan partai politik dapat bertemu pada suatu titik. Anggota partai politik juga harus mau belajar terhadap seluk beluk partai politik. Dari ideologi, platform, visi, misi, dan program yang ditawarkan oleh partai  politik serta harus memahami masalah, hambatan, tantangan, yang dihadapi oleh partai politik.

            Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan, bahwa peningkatan mutu rekrutmen dengan diiringi kaderisasi yang mapan merupakan awal langkah konkret negara untuk memberantas korupsi di Indonesia. Hal tersebut dianggap efektif dan cocok untuk diaplikasikan di negeri khatulistiwa ini karena memiliki prakiraan persentase keberhasilan yang tinggi dan tidak rumit. Hanya saja, masih diperlukannya sinergisasi dan koordinasi yang baik dari tiap lembaga terkait dan niat bersama untuk memulai mengubah sistem rekrutmen politik.

            Harapannya, siklus pemerintahan dapat berjalan baik dengan berkurangnya angka kasus korupsi di Indonesia. Kepercayaan publik yang semakin menguat juga diharapkan mampu memberikan dorongan lebih kepada para representatif rakyat untuk dapat memimpin dan bersama memajukan bangsa dalam persaingan global serta meningkatkan angka partisipasi politik pemuda dalam rangka menjamin sirkulasi kader negara yang mapan. Dengan begitu, nasib pemerintahan Indonesia akan berorientasi kepada arah yang lebih mapan selaras dengan junjungan integritas dalam stabilitas demokrasi.



DAFTAR PUSTAKA

Husodo, A.T, Langkun, T.S., Abid, Lais. 2014. Tren Pemberantasan Korupsi. Jakarta: Divisi Investigasi dan Publikasi ICW.

Kompas (2009). Parpol Harus Berubah Demi Kaum Muda From http://nasional.kompas.com/read/2009/10/28/05155127/parpol.harus.berubah.demi.kaum.muda, 31 Agustus 2015

Mahadi, Helmi. 2011. Pragmatisme Politik: Studi Kasus Proses Rekrutmen Politik PDI-P Pada Pilkada Kabupaten Sleman. NAD: Bakesbangpol dan Linmas Kabupaten Gayo Lues.

Mufti, Muslim. 2013. Studi Organisasi Politik Modern. Bandung: CV Pustaka Setia

Murray, Rainbow. 2014. “What makes a Good Politican? Reassessing the Criteria Used for Political Recruitment” Paper presented at a workshop on Gender and Political Recruitmen ECPR Joint Sessions, Salamanca, 10-15 April 2014

Nugroho, M.A., Rachman, P.H. 2012. Belajar Merawat Indonesia. Bogor: Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa.

Triwidaryanta, Jaka. 2012. Modul Pengkaderan Partai Politik: Jakarta: Op.Cit



[1] M. Ridwan Affan, ”Wakil Rakyat Minim Kerja”, dalam M. Adi Nugroho, Purnawati Hustina Rachman,dkk., Belajar Merawat Indonesia (Bogor, Jawa Barat: Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa, 2012), h. 58.
[2] Laras Susanti, “Perselingkuhan Korup” dalam M. Adi Nugroho, Laras Susanti, Purnawati Hustina Rachman,dkk., Belajar Merawat Indonesia (Bogor, Jawa Barat: Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa, 2012), h. 63.
[3] Adnan T. Husodo, Tama S. Langkun, Lais  Abid (Indonesia Corruption Watch), “Tren Pemberantasan Korupsi 2014 (Jakarta: Divisi Investigasi dan Publikasi ICW, 2014) h. 8
[4] Helmi Mahadi, “Pragmatisme Politik: Studi Kasus Proses Rekrutmen Politik PDI-P Pada Pilkada, Kabupaten Sleman (Bakesbangpol dan Linmas Kabupaten Gayo Lues, NAD, 2011) h.6

[5] http://nasional.kompas.com/read/2009/10/28/05155127/parpol.harus.berubah.demi.kaum.muda
[6] Jaka Triwidaryanta dkk. Op.Cit. Modul Pengkaderan Partai Politik h. 23
[7] Muslim Mufti.2013.Studi Organisasi Politik Modern.Bandung:CV Pustaka Setia h. 101

Comments

Popular posts from this blog

Waktu, Rindu, dan Satu - Apresiasi Film Flipped

Menelisik Fokus Pemerintah Terhadap Pengembangan Infrastruktur Melalui APBN 2017

Anomali Toleransi