Asmaraloka
Ragam
sastra ini hanya ditujukan sebagai sebuah pengingat atas apa-apa yang telah
mencederai, mengamputasi, bahkan membunuh rasa ‘ada’ dari manusia yang dianggap
makhluk paling sempurna di muka bumi. Di balik rahasia, telah terbungkam kasih
yang terendam dalam banjir afeksi sebagai akibat tidak mengalirnya kemanusiaan
ke bilik yang sepatutnya. Kemanusiaan itu terbendung pun tercabik. Seakan-akan
memberikan potret kejumawaan potensial dari segelintir orang yang menutup
aliran itu dengan rapat. Segelintir yang berjumlah tidak tentu, yang rasanya
mencekik label universal sebagai suatu entitas manusia.
Dalam
ragam sastra ini pula, saya tidak akan menghubungkan cerita dengan konstruksi
hukum – wujud ketegasan peraturan - yang
memang ada untuk memberikan kebahagiaan bagi seluruh masyarakatnya, tetapi saya
mengajak atau dalam tataran yang lebih tinggi, menuntut sebuah konsep mendasar
bagi tiap orang, tiap individu, menanamkan suatu postulat untuk tidak
pernah menyalahi kodrat manusia yang memiliki hak-hak atas kehidupan, hak-hak
atas manusia secara universal karena Anda, saya, tidak sendiri. Biarkan kasih
itu mengalir, layaknya sajak ini dalam ruang renung insan berakal.
Saya,
Hanya
mencari waktu untuk diam
Sekadar
ingin tidak menggerutu geram
Tapi,
tatap
mata saya jatuh di antara kritik gemelentam
Pena
tercoret di atas kertas kusam
Menghadiahkan
kata pedas hunjam
Menanti
makna sadar dari… mereka?
Apakah
bisa saya sebut identitas yang terancam neraka?
Celaka..
Masihkan
saya harus berduka?
Ketika
doa adalah langkah terakhir, Paduka
Ketika
saya dicabik dengan manisnya retorika
Bahkan,
cenayang enggan untuk menerka
Mereka, apakah tidak rindu asmaraloka?
Saya
adalah seorang pengagum potensial
Tetapi
tidak dengan kebiadaban akal
Mereka,
mengapa tidak bertanah?
Lupa
atas pijakan rendah manusia
Ah,
Saya
lupa
Kapan
mereka peduli sesama
Padahal
hidup seirama
Saya,
Yang
kini dekat Anda,
Melihat
Anda yang memahami sajak dalam jeda
Mendengar
dalam kontemplasi tentang marcapada
Berseru
tolong,
Untuk
sepaham,
Bahwa
kita – manusia – tidak sendiri
Bahwa
kita – jiwa – memiliki duri
Tolong,
Beri
jarak duri dari arteri
Lengkapi
ruang kasih dalam jeladri
Sejatinya,
Anda
berhak tahu,
Kita ada,
Membutuhkan
ruang asmaraloka.
Saya lebih menyukai tuntutan yang terangkai
dalam ragam sajak. Jika Anda lelah memahami arti kemanusiaan lewat rumitnya
kalimat formal, kini saya hadirkan sederhananya kata emosional. Ingat, manusia
itu tidak hanya berdiri sebagai raga, tetapi dalam konstelasi jiwa yang apik,
yang saling menghormati, saling mengargai dan saling mengakui bahwa ‘ada’ orang
di sekeliling kita dengan segenap martabat yang tidak cacat.
Comments
Post a Comment