Menelisik Penyelenggaraan Perlindungan Hak Asasi Manusia Lesbian, Gay, Bisex, Transgender, Intersex, dan Questioning di Indonesia


            “Kami juga berhak hidup seperti Anda, memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara.”
-          Cerita tentang LGBT Pembela HAM, Arus Pelangi

Eksistensi Lesbian, Gay, Bisex, Transgender, Intersex, dan Questioning (LGBTIQ) di Indonesia sebagai manifestasi keberagaman gender kian kali mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari keluarga, masyarakat sekitar, bahkan negara. Ada yang diancam, diusir dari rumah, dikirimi pesan gelap, dan dilecehkan secara seksual. Mereka diperlakukan seperti warga negara yang diamputasi hak asasinya karena dianggap sebagai penyakit yang mendapat menganggu stabilitas sekitar. Padahal, LGBTIQ bukan merupakan penyakit atau bahkan dapat menganggu. Hal tersebut dijustifikasi dengan pengubahan klasifikasi homoseksualitas dalam Pedoman Diagnosa dan Klasifikasi Gangguan Jiwa (PPDGJ) edisi kedua oleh Direktorat Direktorat Kesehatan Jiwa di Kementerian Kesehatan pada tahun 1983.  Hanya kondisi homoseksualitas ego-distonik saja yang dianggap gangguan jiwa karena orang tersebut menentang dan tidak menerima seksualitasnya, sedangkan homoseksualitas ego-sintonik bukan merupakan gangguan jiwa. Pada Edisi Ketiga tahun 1993, bahkan tidak disebutkan homoseksualitas kecuali dalam catatan singkat yang menyatakan sebagai bagian dari keragaman seksualitas manusia. Oleh sebab itu, tindak kriminalisasi, pemberitaan negatif, dan kekerasan terhadap LGBTIQ yang tidak kunjung berhenti dan semakin memarginalisasi LGBTIQ dengan stigma buruknya perlu mendapatkan atensi dari masyarakat dan Pemerintah untuk mengoptimalkan perlindungan HAM LGBTIQ di Indonesia agar mereka dapat mengakses hak-haknya sebagai warga negara.

      Hal tersebut jelas menjadi poin esensial karena Pemerintah sampai saat ini belum optimal berkolaborasi dengan masyarakat untuk menyelenggarakan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi LGBTIQ, tetapi justru memberikan ruang atas pengamputasian perlindungan HAM LGBTIQ. Tercatat, terdapat 155 konsolidasi dan kejadian serta pemberitaan negatif yang ditujukan pada komunitas LGBTIQ di 16 provinsi di Indonesia. Terlebih, pejabat-pejabat Negara yang seharusnya memiliki basis pemahaman yang lebih baik terkait HAM juga menyampaikan ujaran negatifnya terhadap LGBTIQ di Indonesia, seperti Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek) M. Nasir, Ketua Majelis Permusyawaratan Perwakilan Republik Indonesia (MPR RI) Zulkifli Hasan, dan Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Republik Indonesia (DPR RI) Reni Marlinawati yang pada pokoknya mengatakan bahwa LGBTIQ bertentangan dengan hukum positif dan budaya bangsa Indonesia, sehingga harus dilarang.

     Ujaran-ujaran tersebut sesungguhnya seakan menjadi lampu hijau bagi masyarakat untuk melakukan tindakan negatif dan semakin melekatkan stigma negatif kepada LGBTIQ di Indonesia, maka tidak kaget bahwa penelitian yang dilakukan oleh Arus Pelangi pada tahun 2013 menunjukkan fakta bahwa 89.3% LGBTIQ di Indonesia pernah mengalami kekerasan, dengan 79.1% dalam bentuk kekerasan psikis, 46.3% dalam bentuk kekerasan fisik, 26.3% dalam bentuk kekerasan ekonomi, 45.1% dalam bentuk kekerasan seksual, dan 63.3% dalam bentuk kekerasan budaya. Dari sekian banyak LGBTIQ yang mengalami kekerasan, 65.2% di antaranya mencari bantuan ke teman dan 17,3% pernah melakukan percobaan bunuh diri.[1] Bahkan, tindakan buruk terus berlanjut hingga tahun 2016 yangmana dipaparkan oleh salah satu seorang pegiat HAM dari Arus Pelangi, Yulita Rustinawati, bahwa sejak Januari hingga Maret 2016, terdapat 142 kasus penangkapan, penyerangan, diskriminasi, pengusiran, dan ujaran kebencian yang ditujukan kepada kelompok LGBTIQ.[2]

Pernyataan diskriminatif, kekerasan, dan pemberitaan negatif sesungguhnya merupakan tindakan yang inkonstitusional dan bertentangan dengan hukum karena tidak sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), khususnya dalam 28 I ayat (2) yang mengatakan bahwa:

         “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak                mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.”

yangmana poin tersebut kemudian disebutkan kembali dalam Pasal 3 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang memaparkan bahwa:

          “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia,                      tanpa diskriminasi.”


       Definisi diskriminasi dalam Pasal 3 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM diartikan sebagai setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat pengurangan penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

        Dari pemaparan di atas jelas telah terjustifikasi bahwa seharusnya tidak ada pembedaan manusia atas dasar apapun, termasuk orientasi seksual seseorang. Namun, kemudian implementasi dari perlindungan HAM mengalami turbulensi dengan produk hukum yang tidak semakna. Tercatat terdapat lima peraturan daerah (Perda) yang menganggap bahwa LGBTIQ dan kegiatannya merupakan hal yang dilarang dan dianggap sebagai penyakit sosial, sama halnya dengan kegiatan pelacuran, perzinahan, dan prostitusi. Kelima peraturan daerah tersebut diantaranya adalah:[3]

1.   Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Selatan No. 13 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Maksiat di Propinsi Sumatera Selatan. Perda ini menggolongkan perilaku homoseksual dan anal seks oleh laki-laki (tanpa menyebutkan apakah bersifat penetratif atau menerima) sebagai perbuatan tidak bermoral, sebagaimana halnya prostitusi, perzinahan, perjudian, dan konsumsi minuman beralkohol.
2.   Peraturan Daerah Kota Palembang No. 2 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran. Perda ini serupa dengan Perda Provinsi, hanya menggunakan istilah “pelacuran” dan bukan “maksiat”.
3.   Peraturan Daerah Kabupaten Banjar No. 10 Tahun 2007 tentang Ketertiban Masyarakat. Perda ini dalam definisinya tentang “pelacur” menyebutkan perbuatan homoseksual dan heteroseksual yang “tidak normal” (di samping perbuatan yang “normal”). Tidak ada penjelasan tentang apa yang merupakan perbuatan “normal” atau tidak normal”. Perda ini juga melarang pembentukan organisasi “yang mengarah kepada perbuatan asusila” yang “tidak bisa diterima oleh budaya masyarakat [setempat]”. Hal ini kemudian dijelaskan dengan menyebutkan contoh organisasi lesbian dan gay “dan sejenisnya”.
4.    Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya No. 12 Tahun 2009 tentang Pembangunan Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan Yang Berlandaskan Pada Ajaran Agama Islam dan Norma-Norma Sosial Masyarakat. Perda ini melarang perzinahan dan pelacuran, baik heteroseksual maupun homoseksual.
5. Peraturan Daerah Kota Padang Panjang No. 9 Tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan, dan Penindakan Penyakit Sosial. Perda ini dalam bagian definisi istilahnya secara tegas menyebutkan hubungan “homoseksual dan lesbian” dan selanjutnya melarang hubungan tersebut serta melarang orang yang “menawarkan diri untuk terlibat dalam hubungan homoseksual maupun lesbian, baik dengan atau tanpa menerima upah.”

Empat Perda pertama di atas hanya mengatur secara samar-samar tentang hukuman atas perbuatan asusila tersebut. Secara umum disebutkan tentang “ketentuan perundang-undangan yang berlaku”, yang dimaksud sebagai perundang-undangan nasional. Namun, Perda kelima secara tegas menetapkan hukuman bagi berbagai perbuatan asusila sampai setinggi-tingginya tiga bulan penjara atau denda sebesar Rp10.000.000.[4]

       Kelima Perda tersebut jelas menunjukkan bentuk diskriminasi terhadap LGBTIQ dan sudah sepatutnya untuk dikaji ulang demi terwujudnya perlindungan HAM bagi LGBTIQ karena bertentangan dengan apa yang telah diamanatkan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UUD 1945. Terlebih, dalam hierarki peraturan perundang-undangan UUD 1945 dan UU No. 39 tentang Hak Asasi Manusia lebih tinggi daripada Perda, sehingga sesuai dengan  Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka untuk menciptakan suatu kepastian hukum atas kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan, Kelima Perda tersebut harus disesuaikan dengan  UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UUD 1945.

       Selain turbulensi antar produk hukum, perlindungan terhadap LGBTIQ juga mengalami hambatan dalam tahap implementasinya, salah satunya datang dari sektor ketenagakerjaan yang meskipun telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi masih menyisakan ruang diskriminasi terhadap LGBTIQ. Di dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sesungguhnya telah disebutkan bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan setiap pekerja atau buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Namun, dalam tataran implementasi, masih terdapat komunitas LGBTIQ yang mendapatkan diskriminasi, terutama waria di sektor formal. Diketahui pula bahwa banyak kasus diskriminasi dalam pekerjaan seperti mengajar, perbankan dan bahkan salon penata rambut. Diskriminasi tersebut diperburuk dengan fakta bahwa banyak waria yang tidak dapat menyelesaikan pendidikannya karena salah satunya adalah alasan kekerasan budaya dan kekerasan psikis berupa pengusiran dari rumah atau kos, diancam, diusir, disakiti, dan dikirimi pesan gelap. Terlebih, banyak waria yang tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai akibat dari tindak kekerasan budaya dan psikis yang dialaminya, sehingga membuatnya sulit untuk mendapatkan pekerjaan.

Oleh sebab itu, sesungguhnya perlu dilakukan pengkajian terkait dengan pengaturan perlindungan HAM terhadap LGBTIQ sebagai wujud pengejawantahan UUD 1945. Pengkajian ulang  yang telah disebutkan memiliki beberapa agenda pokok, yang diantaranya adalah pengujian kelima Perda terhadap UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, memasukkan redaksional orientasi seksual di dalam UU No. 11 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan untuk mempertegas bahwa diskriminasi terhadap LGBTIQ adalah hal yang dilarang, melakukan sosialisasi terhadap aparatur negara dan masyarakat terkait perlindungan HAM LGBTIQ dan mengadopsi materi Prinsip-Prinsip Yogyakarta dalam produk hukum Indonesia untuk menjamin kepastian, keadilan, dan kebermanfaatan hukum bagi LGBTIQ di Indonesia.

           Prinsip-Prinsip Yogyakarta merupakan suatu tatanan prinsip-prinsip dalam penerapan Undang-Undang HAM yang terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender. Prinsip-Prinsip ini menegaskan standar hukum internasional mengikat yang harus dipatuhi oleh semua negara. Prinsip-Prinsip ini menjanjikan bentuk masa depan yang berbeda, di mana semua orang dilahirkan dengan bebas dan setara dalam hal martabat dan hak serta dapat memenuhi hak berharga tersebut yang mereka bawa sejak dilahirkan.[5]

           Urgensi dari hadirnya Prinsip-Prinsip Yoygakarta hadir atas pelanggaran HAM yang mengarah pada seseorang dikarenakan oleh persepsi/pandangan/atau kenyataan orientasi seksual mereka telah membentuk akar kekhawatiran serius dalam pola global. Bentuk pelanggaran mencakup eksekusi di luar hukum, penyiksaan dan perlakuan buruk, penyerangan seksual dan pemerkosaan, pelanggaran privasi, penahanan sewenang-wenang, penolakan dalam kesempatan bekerja dan mendapatkan pendidikan serta diskriminasi dalam hal mempergunakan hak asasi mereka. Mekanisme HAM PBB telah menegaskan kewajiban negara dalam memastikan tersedianya perlindungan dari diskriminasi yang disebabkan oleh orientasi seksual atau identitas gender bagi setiap orang. Sayangnya, respon internasional telah ter-fragmentasi dan tidak konsisten, sehingga muncul kebutuhan akan pemahaman yang komprehensif mengenai Undang-Undang HAM dan aplikasinya terkait dengan isu-isu mengenai orientasi seksual dan identitas gender.[6] Isi dari Prinsip-Prinsip Yogyakarta meliputi hak untuk penikmatan HAM secara universal, hak atas kesetaraan dan non diskriminasi, hak untuk hidup, hak atas keamanan seseorang, hak atas privasi, hak atas kebebasan dari kesewenang-wenangan terhadap perampasan kebebasan, hak untuk pengadilan yang adil, hak untuk mendapatkan perlakuan manusiawi selama dalam tahanan, hak atas kebebasan dari siksaan dan kekejaman, perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan, hak atas perlindungan dari semua bentuk eksploitasi, penjualan, dan perdagangan manusia, hak untuk bekerja, hak atas keamanan sosial dan atas tindakan perlindungan sosial lainnya, hak untuk mendapatkan standar kehidupan yang layak, hak atas perumahan yang layak, hak atas pendidikan, hak atas pencapaian tertinggi standar pendidikan, perlindungan atas kekerasan medis, hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak atas kebebasan berkumpul dengan damai dan berasosiasi, hak atas kebebasan berpikir; memiliki kesadaran dan agama, hak atas kebebasan untuk berpindah, hak untuk mencari perlindungan, hak untuk menemukan keluarga, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya, hak untuk memajukan HAM, hak atas pemulihan dan ganti rugi yang efektif, dan akuntabilitas.

        Prinsip-Prinsip Yogyakarta sejatinya telah mengatur secara lengkap perlindungan HAM terhadap LGBTIQ, tetapi dalam 10 tahun umurnya, Pemerintah Indonesia belum juga mengadopsinya secara eksplisit ke dalam peraturan perundang-undangan. Padahal dalam sebuah artikel yang berjudul The Impact of the Yogyakarta Principles on International Human Rights Law Development: A Study of November 2007 – June 2010 dipaparkan bahwa Prinsip-Prinsip Yogyakarta yang diluncurkan pada tahun 2007 telah memberikan pengaruh signifikan bagi PBB. Isu terkait orientasi seksual dan gender telah ditambahkan rencana strategis Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR). Terlebih, hal ini menjadi urgensi yang lebih faktual ketika catatan Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) tahun 2015, tercatat masih banyak LGBT yang mengalami stigma dan diskriminasi atas dasar orientasi seksual dan identitas gendernya.[7]

          Oleh karena itu, mengingat eksistensi LGBTIQ di sekitar kita begitu nyata, maka perlu dijamin perlindungannya di mata hukum agar timbul suatu kepastian dan rasa aman bagi mereka dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan bebas dari segala bentuk kekerasan budaya, psikis, ekonomi, dan seksual yang sempat menghantui kehidupan mereka.



[1] Arus Pelangi, “Menguak Stigma, Kekerasan dan Diskriminasi Pada LGBT di Indonesia, Studi Kasus: Yogyakarta, Makassar, dan Jakarta, Pembahasan Khusus: Fenomena Trans/Homophobic Bullying pada LGBT, (Jakarta: Arus Pelangi, 2013), hlm. xii.
[2] Kristian Erdianto, “Diskriminasi Kelompok LGBT dan Pemerintah Yang Tutup Mata,” http://nasional.kompas.com/read/2016/08/21/23055511/diskriminasi.kelompok.lgbt.dan.pemerintah.yang.tutup.mata.?page=all, diakses 10 Juli 2017
[3] The United Nations Development Programme (UNDP) dan United States Agency for Internasional Development (USAID), “Hidup Sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia, Tinjauan dan Analisa Partisipatif tentang Lingkungan Hukum dan Sosial bagi Orang dan Masyarakat Madani Lesbian, Gay, Bisex, Transgender (LGBT),” (makalah disampaikan pada Dialog Komunitas LGBT Nasional Indonesia, Bali, 13-14 Juni 2013), hlm. 25.
[4] Ibid., hlm. 25.
[5] Ardhanary Institute, “Latar Belakang: Tentang Prinsip-Prinsip Yogyakarta,http://www.ypinaction.org/wp/wp-content/uploads/2016/10/Yogyakarta20Principles2020Bhs20Indonesia.pdf, diakses pada 10 Juli 2017.
[6] Ibid., hlm. 1.
[7] Ardhanary Institute, “Refleski 10 Tahun Prinsip-Prinsip Yogyakarta”, http://ardhanaryinstitute.org/index.php/2016/11/28/refleksi-10-tahun-yogyakarta-principles/, diakses pada tanggal 21 Juni 2017

Comments

Popular posts from this blog

Waktu, Rindu, dan Satu - Apresiasi Film Flipped

Menelisik Fokus Pemerintah Terhadap Pengembangan Infrastruktur Melalui APBN 2017

Anomali Toleransi