Kadang di Sembilan Belas Tahun
Sembilan belas bukan lagi angka untuk seseorang disebut sebagai anak-anak.
Sembilan belas tahun bukan lagi masa seseorang diatur jadwal tidur sebegitu ketatnya oleh orang tua.
Sembilan belas tahun bukan lagi umur untuk seseorang mempermainkan emosi di atas mainan.
Bukan di titik sembilan tahun juga seseorang baru mempertanyakan personifikasi manusia dengan umurnya.
Terlebih, bukan di umur tersebut pula seseorang akan paham bertambahnya umur tidak selalu linier dengan kepintaran.
Kadang, ketika pulang kuliah, saya berpikir apa sebenarnya yang baik-baik saja di tempat ini--tempat seseorang dihitung lama kehadirannya. Ingin mencoba memahami lewat identitas, tapi bahkan eksplorasi identitas membuat mereka menghadirkan potret betapa buruknya identitas terkait dengan komparasi yang masuk akal aja tidak sama sekali, apalagi dibilang masuk hati?
Ingin mencoba memahami lewat pandangan atas paham, tapi bahkan orang-orang saling "membunuh" tanpa mengerti atas alasan apa paham itu disandarkan. Ingin mencoba memahami lewat waktu, ya lagi-lagi bahkan umur tidak bisa dipercayai.
Kadang, apa sebenarnya yang dipertahankan oleh orang-orang selain harga diri? Bahkan, identitas itu melekat untuk memberikan harga, bukan?
Kadang, ketika bersama untuk berteriak saya memahami bahwa saya berada di ruang yang menyakitkan. Menyakitkan untuk bahkan hanya memposisikan diri dengan teriakan itu. Pun bersamaan berpikir, apakah seseorang harus benar-benar sakit, untuk juga bersama berteriak?
Tetapi kadang, saya juga merasa hadir di tempat suara itu ditujukan, perasaan ini menarik suasana yang telah terbangun di tempat itu. Jadi, apakah saya..... benar-benar berteriak?
Kadang, alur diskusi di tengah teriakan yang tidak menentu menghilangkan dan memasukan intrik yang berusaha memahami. Perspektif dari catatan kaki sebagai pendekatan atas masalah orang-orang yang berbeda pun menciptakan kesimpulan-kesimpulan sendiri.
Kadang, berikut kritik-kritik yang berlalu lalang di sana ditujukan untuk diri sendiri; kadang apa yang orang lain katakan bukan perspektif untuk Anda, tapi perspektif atas dirinya sendiri atau setidaknya harapannya atas Anda.
Kadang, saya bertanya bagaimana pula kita bisa membangun perspektif atas orang lain? Selain atas opini-opini yang bergantung pada bagaimana kita diperlakukan. Lalu, dengan kesalahan-kesalahan, jika tergolong dekat, kita akan berusaha melindungi. Apabila terpaut jarak, kita akan berusaha memberikan kritik berdasarkan apa yang benar-benar terjadi. Jadi, bagaimana seharusnya respon harus hadir?
Kadang, Anda tidak selalu harus percaya atau tidak percaya dengan tulisan yang ditulis tanpa dikoreksi dan dilihat kebenarannya seperti bagaimana dunia sosial bekerja sekarang, bukan?
Kadang, sembilan belas tahun yang saya telah lalui bukan angka yang dihargai karena pembelajaran, tapi dilihat untuk diteriaki dengan penghormatan berbasis angka.
Kadang, saya merasa harus tidur larut seperti ini untuk menulis pertanyaan yang bisa menghadirkan multi perspektif.
Kadang, saya hanya mempermainkan emosi sendiri.
Comments
Post a Comment