Perfect getaway, I guess?


   Sebagai seseorang yang punya rutinitas melelahkan, siapa sih yang gak mau liburan? Walaupun istilah melelahkan juga beda-beda pemahamannya buat tiap orang, yang jelas, kuliah lima hari dengan nilai yang gak sesuai target menjadi hal yang melelahkan buat gue. 

   Itulah kenapa tanggal 24 Januari 2018 sampai 2 Februari 2018 gue dengan ketiga teman dari Jakarta pergi ke Bali sampai Labuan Bajo untuk ya, sekadar liburan. Ohiya, harusnya ada dua orang lagi yang ikut, tapi karena ada urusan mendadak, mereka gak jadi ikut. Ngomongin perjalanan ini, fyi, gue udah siapin ini selama hampir satu semester, dari itinerary sampai rancangan angggaran dananya yang ganti-ganti mulu tiap dapet informasi baru, maklum, dompet tipis. Nah, biar kalian juga bisa merasakan jalan-jalan dengan budget seminimal mungkin. Jadi, di sini gue akan membagikan beberapa tips dan triknya serta nomor telepon dari masyarakat lokal yang super baik.

   Oke, jadi semua bermula pada tanggal 23 dan 24 Januari 2018, gue dan tiga orang teman gue berangkat dari Soekarno Hatta ke Bali dengan tiket pesawat yang udah dipersiapkan jauh-jauh hari seharga Rp725.000 untuk pulang pergi. Lumayan gak, sih? Ini jarang-jarang banget,  biasanya rate-nya sekitar 800.000 sampai 1.000.000 untuk PP (Untuk pembelian promo PP kaya gini kalian bisa kontak lewat Whatsapp ke nomor ini, ya 
+62 896-5656-5095)

   Nah, sesampainya di Bali pada pukul 22.30, kami lalu menginap di rumah teman di daerah Canggu. Besoknya (25 Januari 2018), kami ke Pantai Batu Bolong sekitar pukul 9 pagi. Niatnya sih mau lari, tapi ya 10 menit lari, 20 menit duduk. He he


Pantai Batu Bolong ini terlihat sebagai tempat yang cocok untuk surfing, keliatan banyaknya surfers yang datang ke sini dan ombaknya yang besar.

Sorenya, kami pergi ke D'alas Resto Ubud yang terletak di daerah Tegallalang dengan sawahnya yang cantik untuk difoto. 
Sumber: Instagram @Sutarahady


D'Alas Resto Ubud


   Sayangnya saat kami datang, cuaca yang gak mendukung mengurangi view dari restoran yang kami kunjungi, tapi masih worth to visit, sih. Di sini minumannya terhitung murah dan makanannya pun terbilang standar secara harga. Untuk rasanya? Gak mengecewakan kok. Anyway, sebelah restoran ini sebenarnya ada cafe yang terkenal dengan kopinya yang beragam dengan minimal order sebesar Rp100.000, 
Sumber: Instagram @fb.merita

tapi kami gak kesana karena kami lapar setelah perjalanan hampir 2 jam dari canggu, jadi lebih memilih untuk makan di restoran tadi daripada ngopi. Setelah puas, kami pun kembali beristirahat karena esoknya harus berangkat pukul 6 pagi untuk mengejar bis dari Terminal Mandalika.

   TAPI lagi, yaelah niatnya doang begitu, akhirnya pun kami tetap bangun pukul 7 dan berangkat pukul 8.30. Setelah sarapan dan rapih-rapih, akhirnya kami memesan Go-car untuk ke Padangbai, tapi harganya beda sama yang di aplikasi dan jadi mahal banget (harganya jadi sekitar 2x lipat!). Akhirnya, kami menggunakan mobil kenalan teman dengan harga yang pas, yaitu sekitar Rp200.000. Sesampainya di Padangbai, kami langsung beli tiket kapal ferry seharga Rp46.000. Sebelumnya kami sempat ditawarkan untuk naik fast boat, tapi karena merasa waktunya cukup dan ingin lebih murah, jadi kami tetap memilih naik ferry. Perjalanan dari Padangbai (Bali) ke Pelabuhan Lembar (Lombok) memakan waktu sekitar 5 jam. Lama sih, tapi pemandangannya bagus banget, gak nyesel lama-lama di kapal. Ohiya, Padangbai adalah pelabuhan terbersih dari pelabuhan yang pernah gue kunjungi. Airnya yang terlihat hijau cerah dan pohon-pohon di tebing pantai jadi kombinasi sempurna buat kecantikan Padangbai.



Foto di Kapal


  Sesampainya di Pelabuhan Lembar, kami kemudian naik elf (angkutan umum) ke Terminal Mandalika dengan biaya yang dipatok sebesar Rp100.000 (dibagi empat orang) dan waktu perjalanan selama 1 jam 30 menit. Saat kami tiba di Terminal Mandalika, kami langsung segera menghubungi Pak Gede sebagai agen bus yang telah kami kontak jauh-jauh hari. Sayangnya, kami telat mengejar bis yang memiliki tujuan ke Pelabuhan Sape pada pukul 15.00, jadinya kami naik bis lain yang hanya sampai Bima pada pukul 17.30. Biaya perjalanan kami sampai Bima sebesar Rp230.000 sudah termasuk makan sekali. (untuk kontak Pak Gede, kalian bisa menghubungi melalui Whatsapp di nomor +62 819-1790-1241)


   Setibanya di Bima, kami mencari angkutan umum untuk ke Sape. Lagi-lagi, kami ketinggalan, jadi harus menyewa angkutan umum untuk ke Pelabuhan Sape seharga Rp310.000. Kalo kamu bisa mengejar angkutan umum yang memang memiliki tujuan ke Pelabuhan Sape, kamu hanya akan bayar Rp30.000 per orang, loh. Biasanya angkutan umum tersebut berangkat jam 5 pagi karena keberangkatan kapal dari Pelabuhan Sape ke Labuan Bajo hanya sekali sehari di Pukul 09.00-10.00 pagi. Jadi, harus diingat-ingat, ya.

   Seperti ditiban durian runtuh, kami baru tahu kalo tanggal 27 Januari 2018 sampai 30 Januari 2018 tidak akan ada kapal yang berangkat karena cuaca yang tidak membolehkan ferry berangkat secara prosedur. Semua itinerary yang udah gue susun sedemikian rupa sontak buyar. Di sinilah cerita kami benar-benar dimulai, kami kemudian menghubungi Bapak Ibrahim yang sedang di Labuan Bajo untuk menanyakan apakah ada solusi terkait dengan permasalahan tadi. Beliau pun dengan ramahnya mengajak kami untuk tinggal di rumahnya di Pelabuhan Sape sambil menunggu ferry bisa menyebrang, tapi setelah disampaikan kondisi dengan diskusi panjang bahwa kami sudah mempunyai jadwal yang telah diatur, seperti tiket pesawat yang sudah dibeli dan jadwal ferry yang tidak cocok, beliau pun bersedia untuk menjemput kami dari Labuan Bajo ke Pelabuhan Sape untuk pertama kali menggunakan kapal pribadinya. Ohiya, ternyata gak cuma kami aja yang gak bisa nyeberang ke Labuan Bajo. Ada Tom, Demmy, dan Lodi yang juga gak bisa nyeberang. Akhirnya, mereka ikut rombongan kami dengan Pak Ibrahim, tapi pada saat di Sape, mereka menginap di Hotel Santika yang berada di Pelabuhan Sape. Sementara kami, tetap menginap di rumah Pak Ibrahim dan kami ternyata adalah tamu pertama yang menginap di rumah beliau--hal yang gue baru tahu di hari terakhir di Rumah Pak Ibrahim.

   Setelah sepakat untuk menunggu Pak Ibrahim menyeberang, kami dijemput oleh Ibu Amase (istri Pak Ibrahim) dan Vian (anak Pak Ibrahim yang baru kelas 1 SD) dengan menggunakan delman di Pelabuhan Sape. Di rumah, rasa kekeluargaan ini perlahan muncul terutama ke teman saya yang berasal dari Padang yang sangat akrab dengan Alvian dan Ibu Amase. Kami diperlakukan seperti anak sendiri dan warga sekitar pun tak sungkan untuk menyapa kami (sedikit sindiran sebenarnya untuk gue secara pribadi yang jarang berinteraksi dengan tetangga karena kalo di rumah udah kecapekan aja dan milih untuk istirahat). Ibu Amase yang lucu banget ini selalu bikin kami ketawa dan juga membuat kami merenung atas cerita-ceritanya yang gue harus akui, mereka sangat luar biasa. 


   Di hari kedua menginap, gue yang terlalu capek baru bisa bangun jam 12, tapi temen gue, Bu Amase, dan Ibu satunya lagi  udah bakar ikan dari pagi. Ikannya enak bangeet woy! 

Lagi bakar ikan!

   Setelah makan, kami pun pergi ke Pantai Lariti di Kecamatan Sape, Bima. Sedikit disclaimer, masih sedikit turis luar yang datang ke pantai ini dan sebenarnya sangat disayangkan karena pantainya bagus banget! 


Foto dari sisi pulau seberang Pantai Lariti

   Jadi, kamu bisa menyebrang ke pulau lain dengan hanya berjalan kaki, kata warga lokal yang sempat saya ajak ngobrol, nama asli dari pantai ini sebenarnya bukan Pantai Lariti, tetapi sesuatu yang lain yang terinspirasi dari kisah Nabi Musa yang membelah lautan. Tapi maaf nih, gue lupa nama aslinya hehehe. Ohiya, ada beberapa warga juga yang ikut pas kita ke Pantai Lariti dan woy mereka baik jugaa.

Foto sama mama-mama yang asik dan anaknya haha


   Sore di Rumah Pak Ibrahim, kami bermain dengan anak-anak di sekeliling rumah.

Anak-anak sekeliling rumah Pak Ibrahim dan Tom

   Kami menginap di rumah Pak Ibrahim selama hampir 2 malam karena di malam kedua kami berangkat dari Pelabuhan Sape pukul 2 pagi untuk memulai keberangkatan ke labuan bajo. Setelah menge-pack kembali barang-barang dan bersiap tidur, Pak Ibrahim dan Ibu Amase kemudian mendatangi kamar kami untuk bercerita tentang senangnya mereka dengan kami yang menganggap mereka seperti keluarga sendiri (well, gimana enggak, wong mereka baik banget). Daaaaan mereka ngasih kami semacam kenang-kenangan. Yak, tiba-tiba semuanya pada melankolis.

  Gue yang gak tahu harus respon apa, akhirnya ngeluarin buku puisi yang selalu gue bawa dan highlighter untuk menandakan puisi berjudul “pelabuhan” untuk diberikan ke mereka. Semoga puisi itu bisa jadi pengingat pertemuan pertama kami di Pelabuhan Sape. Yap, pertemuan pertama karena gue harus ke sana lagi lain waktu.

  Ohiya, terkait keberangkatan kita yang pagi-pagi banget ini sebenarnya juga untuk menghindar dari Vian yang bakal nangis kejer ditinggal kami pergi. Daan iya, ternyata dia nangis seharian sampe gak sekolah karena ditinggal kami pergi :( 

Foto sebelum pergi

  Setelah berpamitan dengan Ibu Amase, berangkatlah kami ke Labuan Bajo. Perjalanan dari Pelabuhan Sape ke Labuan Bajo ini kami tempuh selama hampir seharian. Gue yang sebenernya takut laut karena pengalaman hampir keseret ombak pas umur 7 tahun, gak bisa ngapa-ngapain di kapal kalo ombaknya gede, kecuali diem dan nutup mata. Mabok sih enggak, tapi ketika ngerasa ombak udah ngegoyang kapal, rasanya kaya ......


   Dan, yang paling puncak adalah ketika kami mau sampai di Kampung Pulau Komodo. Ombaknya parah banget! Bahkan, airnya sampai masuk ke dek kapal. Panik gak, sih? Tapi gue gak ngerti, Pak Ibrahim dan Anak Buah Kapalnya, Pak Eja, bisa tenang dan bilang, “sebentar lagi sampe, kok”

Hm. Hm. Hm.

Sekitar jam 6, akhirnya kami sampai di Kampung Komodo.

Foto depan Kampung Komodo

   Kami kemudian langsung beranjak ke Homestay yang telah dipersiapkan Pak Ibrahim. Gue, setelah ngerapihin barang langsung pergi ke warung untuk beli coke terus ke dermaga untuk tiduran di sana sambil dengerin lagu-lagu Banda Neira. Ini, ini yang gue cari pas liburan, cuma diem untuk mikirin hal-hal yang udah lewat dan mikir apa yang harus gue lakuin kedepannya. Tenang banget rasanya. Dan selanjutnya, di malam itu, gue dan yang lainnya main game dan ya, ngobrol-ngbobrol tentang seharian di kapal. 

Well, udah panjang. Bagian keliling Labuan Bajonya bakal diterusin di post selanjutnya, ya!


Comments

Popular posts from this blog

Waktu, Rindu, dan Satu - Apresiasi Film Flipped

Menelisik Fokus Pemerintah Terhadap Pengembangan Infrastruktur Melalui APBN 2017

Anomali Toleransi