00.00

Bahkan di titik terakhir, kita masih bisa memiliki definisi ambivalen; kembali ke 00.00 sebelumnya atau mengejar 00.00 setelahnya.
               

Kelak kita – dalam stigma entitas makhluk beradab -- mengerti bahwa relung sarat dengan friksi, baik antara orang yang tidak dikenal atau bahkan orang yang dekat. Friksi-friksi tersebut lahir sebagai pemicu atas ketidaksesuaian yang hadir dalam 23.00 dan determinasi dalam 01.00.  Namun, pertanyaan yang muncul selanjutnya ialah bagaimana friksi tersebut dapat melahirkan ketidaksesuaian, keengganan, atau bahkan melahirkan pelajaran selanjutnya untuk sampai  pada titik terakhir. Manusia, dengan pemahaman yang tidak terkurung, akan selalu mengartikan friksi dalam dua kondisi, yaitu untuk dapat memutar atau melanjutkan waktu sebagai variable terikat atas pemikiran dan tindakan yang beriringan. Mereka kelak juga akan mengetahui bahwa sesuatu perlu diperbaiki dalam 00.00 sebelumnya karena sebuah spontanitas kebodohan atau mengejar 00.00 selanjutnya untuk bertindak menggait definisi permohonan maaf.

 Dalam arti yang sesungguhnya, manusia terlalu keras kepala, perlu menahan hanya untuk mengartikan dirinya sebagai orang hebat yang padahal begitu rapuh dan bodoh. Namun, bisa jadi sisi sebaliknya, terlalu merendah dan melemparkan ego hanya untuk dipandang orang yang terlalu mengalah. Jadi, selayaknya waktu, berusahalah menjadi orang yang seimbang dan meletakkan konsentrasi-konsentrasi atas bagian yang telah dan belum dialami, seperti titik 23.00 dan 01.00, agar kamu mendapatkan sebuah kondisi 00.00 yang memahami ambivalensi titik akhir.

Comments

Popular posts from this blog

Waktu, Rindu, dan Satu - Apresiasi Film Flipped

Menelisik Fokus Pemerintah Terhadap Pengembangan Infrastruktur Melalui APBN 2017

Anomali Toleransi