A Favored Companion

Bisakah kita berbincang tentang bagaimana mengapresiasi seseorang yang pernah, sedang, dan akan kita butuhkan?”

Sebelumnya, gue mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri, Minal Aidin Wal Faizin untuk kita semua. Semoga kita sama-sama bisa memaafkan diri sendiri, teman, atau orang-orang yang selama setahun terakhir ini menyeret emosi dan tensi, sehingga memengaruhi pribadi kita dalam bertindak. Namun, selalu ingat apa yang pernah dikatakan oleh Dr. M. Kaplan bahwa the past has a vote, but not a veto. Jadi, gunakan momen ini untuk setidaknya memperbaiki apa-apa yang salah, sehingga kamu tidak terseret kembali ke hal yang sama dan membuatmu kelelahan di tahun-tahun berikutnya.

Berbicara tentang arti Ramadhan dan lebaran. Buat gue, momen keduanya adalah tentang teman-teman lama gue. Yap, selama Ramadhan 2017 ini, gue kembali ketemu banyak teman lama yang sudah setahun atau lebih tidak menjalin komunikasi seperti dulu. Setahun belakangan gue memang mencoba menyibukkan diri di kampus dengan alasan kesempatan-kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai minat setelah belasan tahun bertemu dengan hal-hal yang sejatinya di luar minat gue. Dengan (sok) kesibukan gue itu, ternyata gue baru sadar banyak komunikasi-komunikasi yang terputus dengan gak sengaja. Contoh konkretnya adalah di saat ketika teman gue nge-chat dan gak gue baca selama sebulan. Hal ini jelas bukan suatu kesengajaan gue, tapi ketidaksengajaan ini lagi-lagi nyatanya gak kejadian sekali.

Lainnya, adalah saat gue ketemu salah satu bagian dari entitas mereka. Satu per satu nyeletuk tentang bagaimana gue selama ini – yang sedang asyik dengan dunia dan atmosfer-atmosfernya yang tebal, sehingga segala bentuk komet yang masuk terbakar habis sebelum sempat gue pikirkan – semakin jarang komunikasi sama mereka. Well, gue di hari itu memang bisa saja menikmati tawa dan cerita mereka, walau terbayang apa-apa yang sebenarnya mereka katakan adalah fragmen diri selama setahun belakangan. Sisi positifnya, di hari itu, rumah yang tadinya kosong dan sempat kami tinggali kembali terisi oleh mereka yang pulang sesaat untuk bercerita.

Kembali membahas tentang mereka, pertemuan gue dengan mereka gak sebatas sekali di sana. Di lain waktu, gue juge bertemu lagi dengan mereka, dengan bagian-bagian yang berbeda, dengan sudut pandang cerita yang berbeda, dan ingatan yang juga sudah mulai berbeda. Walaupun kegiatan yang kami lakukan pada intinya memang sebenarnya sama saja, kami tertawa atas cerita masa lalu, menyindir bagaimana masing-masing di antara kami sekarang, dan membicarakan permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi, dari yang biasa saja sampai membawa pengetahuan disiplin ilmu yang masing-masing dipelajari. Tawa, sindir, lalu disusul dengan kebanggaan. Yap, bangga karena kami merasa lagi-lagi kembali menemukan teman dengan pemikiran luar biasa di antara dunia luar yang tidak sama dalam berdiskusi, tidak lagi searah dalam bercerita, dan tidak ramah untuk sekadar bertukar opini dan solusi. Bangga lagi juga karena ternyata di antara kami telah ada yang mengambil langkah jauh dan berani serta mencoba lalu berhasil melakukan hal yang kita tahu sangat diimpikan olehnya. Satu, dua, hingga tiga jam ternyata tidak menjadi tolok ukur berhentinya waktu untuk mereka, begitu pun juga secangkir kopi yang sudah tak lagi bisa diseruput, sehingga sebenarnya gue tahu bahwa waktu adalah salah satu bentuk apresiasi yang luar biasa untuk mereka, baik waktu untuk bertemu atau sekadar mengafirmasi setiap pertanyaan dan pernyataan dari seorang teman lama.

Sampai di suatu titik, gue bersyukur bahwa gue bisa mengingat hal ini sebelum benar-benar terputus dengan mereka. Lagipula, tidak ada salahnya pula memikirkan hal yang tidak muluk ini untuk menghargai mereka. Jadi, di hari ini, di saat kemenanganmu, sudahkah kamu mengapresiasi mereka?

Comments

Popular posts from this blog

Waktu, Rindu, dan Satu - Apresiasi Film Flipped

Menelisik Fokus Pemerintah Terhadap Pengembangan Infrastruktur Melalui APBN 2017

Anomali Toleransi