Posts

Showing posts from 2017

Menelisik Penyelenggaraan Perlindungan Hak Asasi Manusia Lesbian, Gay, Bisex, Transgender, Intersex, dan Questioning di Indonesia

            “Kami juga berhak hidup seperti Anda, memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara.” -           Cerita tentang LGBT Pembela HAM, Arus Pelangi Eksistensi Lesbian, Gay, Bisex, Transgender, Intersex, dan Questioning (LGBTIQ) di Indonesia sebagai manifestasi keberagaman gender kian kali mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari keluarga, masyarakat sekitar, bahkan negara. Ada yang diancam, diusir dari rumah, dikirimi pesan gelap, dan dilecehkan secara seksual. Mereka diperlakukan seperti warga negara yang diamputasi hak asasinya karena dianggap sebagai penyakit yang mendapat menganggu stabilitas sekitar. Padahal, LGBTIQ bukan merupakan penyakit atau bahkan dapat menganggu. Hal tersebut dijustifikasi dengan pengubahan klasifikasi homoseksualitas dalam Pedoman Diagnosa dan Klasifikasi Gangguan Jiwa (PPDGJ) edisi kedua oleh Direktorat Direktorat Kesehatan Jiwa di Kementerian Kesehatan pada tahun 1983.  Hanya kondisi homoseksualitas ego-distonik saja yang di

Respect

“Respect is for those who deserve it, not for those who demand it.” -           Unknown Writer Well, ini adalah pikiran sepintas yang sebenarnya udah lama pengen gue tulis, tapi ada aja yang harus dikerjain haha. Daripada gue tulis di media sosial terus hilang, lebih baik gue tulis di platform yang memang sudah gue tata sedemikian rupa sebagai jurnal daring pribadi ini. So, happy reading folks! Respect adalah kata yang sering banget gue denger pas SMA, ya, respect biasa dipakai sebagai suatu kultur yang dipaksa pas gue SMA. Kalau lagi assembly  - kumpul rutin – di hall setiap hari jum’at, guru gue selalu angkat tangan kanannya di saat berisik yang diikuti respon kami sebagai murid untuk angkat tangan lalu diam. Ya, inilah ada contoh kecil dari apa yang disebut respect, yaitu respect ke siapa pun yang lagi berbicara di depan publik. Respect memang sebuah kata yang dalam bahasa Indonesia didefinisikan sebagai rasa hormat kepada seseorang. Bentuknya bisa macam-macam, contoh ke

A Favored Companion

“ Bisakah kita berbincang tentang bagaimana mengapresiasi seseorang yang pernah, sedang, dan akan kita butuhkan?” Sebelumnya, gue mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri, Minal Aidin Wal Faizin untuk kita semua. Semoga kita sama-sama bisa memaafkan diri sendiri, teman, atau orang-orang yang selama setahun terakhir ini menyeret emosi dan tensi, sehingga memengaruhi pribadi kita dalam bertindak. Namun, selalu ingat apa yang pernah dikatakan oleh Dr. M. Kaplan bahwa   the past has a vote, but not a veto.   Jadi, gunakan momen ini untuk setidaknya memperbaiki apa-apa yang salah, sehingga kamu tidak terseret kembali ke hal yang sama dan membuatmu kelelahan di tahun-tahun berikutnya. Berbicara tentang arti Ramadhan dan lebaran. Buat gue, momen keduanya adalah tentang teman-teman lama gue. Yap, selama Ramadhan 2017 ini, gue kembali ketemu banyak teman lama yang sudah setahun atau lebih tidak menjalin komunikasi seperti dulu. Setahun belakangan gue memang mencoba menyibukkan diri di

Bagaimana Tanda Menangkap Kita?

Dalam suatu titik, kita pernah memiliki suatu kelebat gambar dari setiap hal yang berkorelasi dengan apa yang dilihat saat ini atau bahkan tidak berkolerasi dengan indera, tapi dengan besutan rasa memiliki. Dalam suatu koma, kita pernah berhenti hanya untuk memisahkan dua makna yang berdiri dalam satu hubungan dan menghadirkan jeda atas intrik yang kerap memaksa kita terus berjalan tanpa mengerti. Dalam suatu tanya, kita pernah membayangi diri dengan angan-angan di masa datang dan memikirkan kans untuk menyambungkan arti entitas dalam satu kalimat yang tidak sepaham senarasi. Dalam suatu seru, kita mengadu, mengemis, dan mendobrak keras dinding yang tidak bersimpati. Dalam suatu tanda, kita mengetahui bahwa kontinuitas ini bergantung pada kita sendiri, baik berakhir dalam titik henti bersama atau sendiri.

#1 Midnight Thought

“If you let people’s perception of you dictate your behaviour, you’ll never grow as a person.” -            George Feeny, Boy Meets World                Menjadi seseorang yang tidak akan lepas dari interaksi sosial menciptakan suatu problematika tersendiri, baik yang disadari sebagai permasalahan major atau mungkin tidak. Pasalnya, setiap ruang tukar kata akan menyelipkan emosi-emosi yang memiliki kans untuk tertangkap tidak sempurna dan tidak berbalas baik. Namun, hal tersebut lumrah terjadi atas frekuensi manusia yang berada dalam taraf yang tidak sama.              Hal itu sama sekali berbeda dengan anggapan titik-titik pemaksaan ketidaksepahaman yan ada. Di sini, mereka akan mencoba mendiktekan titik tersebut untuk kembali menyambungkannya dalam satu frekuensi yang tidak sama dan tidak searah. Apakah manusia sekosong itu dalam menciptakan ruang hubungan? Menarik titik-titik frekuensi orang lain dengan paksa hanya untuk memberikan buntut atas kepala pemikirannya yang dia

SBMPTN?

      Halo! Udah beberapa bulan ini gue gak nulis di blog karena mungkin kalian tahu   college life really needs my attention. So, ya, i left this kind activity for a while. Well,   Dalam tulisan gue gak bakal cerita tentang perkuliahan gue yang baru dua semester ini, tapi   gue secara singkat mau ngasih beberapa strategi untuk anak kelas 12 yang lagi persiapan SBMPTN.             Mungkin sebelum kalian baca   post   ini, kalian bisa baca   post   gue sebelumnya tentang bagaimana cerita gue untuk masuk ke PTN ( klik di sini, ya ). Bukan cerita yang heroik atau mengesankan kok, tapi sedikit ada cara yang mungkin bisa kalian pelajari dari persiapan gue sebelum SBMPTN .         Okay,   seperti yang kalian baca di   post   itu, gue emang baru intensif belajar SBMPTN 15 hari sebelum waktu ujian karena sebelumnya hanya (terlalu) berharap di jalur SNMPTN dengan target universitas sebelah. Namun, di hari H pengumuman SNMPTN, gue dapet pemberitahuan warna merah. Di sinilah cerita pers

00.00

Bahkan di titik terakhir, kita masih bisa memiliki definisi ambivalen; kembali ke 00.00 sebelumnya atau mengejar 00.00 setelahnya.                 Kelak kita – dalam stigma entitas makhluk beradab -- mengerti bahwa relung sarat dengan friksi, baik antara orang yang tidak dikenal atau bahkan orang yang dekat. Friksi-friksi tersebut lahir sebagai pemicu atas ketidaksesuaian yang hadir dalam 23.00 dan determinasi dalam 01.00.  Namun, pertanyaan yang muncul selanjutnya ialah bagaimana friksi tersebut dapat melahirkan ketidaksesuaian, keengganan, atau bahkan melahirkan pelajaran selanjutnya untuk sampai  pada titik terakhir. Manusia, dengan pemahaman yang tidak terkurung, akan selalu mengartikan friksi dalam dua kondisi, yaitu untuk dapat memutar atau melanjutkan waktu sebagai variable terikat atas pemikiran dan tindakan yang beriringan. Mereka kelak juga akan mengetahui bahwa sesuatu perlu diperbaiki dalam 00.00 sebelumnya karena sebuah spontanitas kebodohan atau mengejar 00.00 selan

01.00

Ketika kamu sudah berada di hadapan rahasia dan di belakang kata-kata, kamu harus berjalan untuk menuntaskannya. Dalam 23.00, kita belajar bahwa selalu ada kesempatan untuk dapat memberikan waktu berpikir ulang atas suatu determinasi. Namun, ketika konsensus atas diri sendiri mengatakan untuk terus berlaju, kita harus terus berjalan untuk mengejar arti konsistensi yang melekat di sekitar kita. Dengan memegang konsiderasi ketidasesuaian, kita dihadapkan pada tuntutan untuk menahan beberapa menit untuk mundur dalam fragmen 23.00 atau maju ke arah 01.00 sebagai analogi ruang yang kita pilih. Selanjutnya, jika kita sudah berada dalam masa yang bergerak, adalah suatu tugas kita untuk terus menuntaskannya dengan apik. Pasalnya, masing-masing di antara kita telah berjalan di antara kata-kata yang terisap seiring perjalanan walaupun pada akhirnya beberapa akan ditinggalkan. Apik tidak didefinisikan sebagai arti tuntutan kesempurnaan hasil, tapi mengarah kepada komitmen dan ca

23.00

Jika memang tinggi dan rendah adalah hal yang harus dilalui, untuk apa kamu memikirkan persimpangan hanya untuk berlari?             Dalam rentetan mili detik, setiap manusia memiliki setidaknya satu tujuan untuk dicapai dalam satu mili detik selanjutnya, entah hanya untuk tidur lagi, makan, mengerjakan tugas, atau menunda untuk mengerjakan tugas. Kehidupan manusia memang sesederhana itu dalam berpikir dan bertujuan, ya, setidaknya hal ini benar tanpa memikirkan anomali dari pilihan pribadi yang berbentrokan dengan pilihan orang lain dalam ritme sebab akibat. Pernahkah masing-masing kalian berpikir atas anomali yang termanifes dalam sebuah kompleksitas keputusan hanya untuk meninju atas pilihan selanjutnya? Lalu, sepintas menemui imaji-imaji yang dekat, tapi singkat cerita menjadi definisi bodoh lantaran kamu tahu bahwa titik di mana kita berdiri adalah hasil dari konstelasi pikiran kamu dan orang lain yang sejatinya dapat dipilih. Di sini saya tidak berdiri untuk memperdebatka

Asmaraloka

         Ragam sastra ini hanya ditujukan sebagai sebuah pengingat atas apa-apa yang telah mencederai, mengamputasi, bahkan membunuh rasa ‘ada’ dari manusia yang dianggap makhluk paling sempurna di muka bumi. Di balik rahasia, telah terbungkam kasih yang terendam dalam banjir afeksi sebagai akibat tidak mengalirnya kemanusiaan ke bilik yang sepatutnya. Kemanusiaan itu terbendung pun tercabik. Seakan-akan memberikan potret kejumawaan potensial dari segelintir orang yang menutup aliran itu dengan rapat. Segelintir yang berjumlah tidak tentu, yang rasanya mencekik label universal sebagai suatu entitas manusia. Dalam ragam sastra ini pula, saya tidak akan menghubungkan cerita dengan konstruksi hukum – wujud ketegasan peraturan -  yang memang ada untuk memberikan kebahagiaan bagi seluruh masyarakatnya, tetapi saya mengajak atau dalam tataran yang lebih tinggi, menuntut sebuah konsep mendasar bagi tiap orang, tiap individu, menanamkan suatu postulat untuk tidak pernah menyalahi kodrat man